JAKARTA - Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan hukuman fisik semasa kecil, baik di rumah atau di sekolah. Barangkali kita tumbuh dan melihat hukuman fisik terjadi sehari-hari, sehingga kita memandangnya sebagai hal yang wajar. Karena orang tua dan guru kita menggunakannya, maka kita menganggap hukuman fisik adalah cara biasa orang dewasa memperlakukan anak-anak. Jika anak nakalnya keterlaluan, barangkali ia perlu dipukul agar jera. Toh, alasannya karena sayang dan niatnya adalah mendidik.
Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan juga terus berkembang. Sebagai pengasuh dan pendidik utama anak, kita bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang aman dan mendorong anak untuk berkembang optimal. Kini, sebuah pemahaman baru berkembang bahwa hukuman fisik tidak layak, melanggar hukum, dan berbahaya bagi anak-anak. Hukuman fisik semestinya tidak lagi mendapat tempat dalam pendidikan, baik di rumah atau di sekolah.
Hukuman fisik berdampak rasa marah, malu, takut dan tidak percaya diri. Anak yang memperoleh hukuman fisik dapat pula kehilangan rasa percaya pada orang dewasa yang menghukumnya berulang kali. Hukuman fisik juga mengajari anak bahwa kekerasan adalah cara wajar untuk membuat orang lain mengikuti keinginan kita. Mereka dapat meneruskannya sebagai pelaku perisakan (bullying) pada teman, atau kekerasan dalam rumah tangga saat dewasa.
Disiplin positif adalah pendekatan untuk guru dan orang tua dalam membimbing perilaku anak. Dengan disiplin positif, guru dan orang tua diharapkan memperhatikan dahulu kebutuhan psikologis dan emosional anak sebelum memperhatikan perubahan perilaku. Tujuan disiplin positif adalah membantu anak mengembangkan rasa tanggung jawab untuk membuat keputusan yang baik dan penuh pertimbangan. Disiplin positif membantu anak belajar disiplin dengan motivasi dari dalam dirinya sendiri, bukan karena takut kepada orang lain.
BACA JUGA:
Dalam disiplin positif, anak dikenalkan pada konsekuensi atas perbuatannya. Jika perbuatannya tidak baik, anak mendapat konsekuensi sesuai perilakunya. Konsekuensi yang disepakati anak dan guru atau orang tua, bukan hal-hal yang memalukan atau berbau kekerasan. Misal, anak menumpahkan gelas berisi kopi ke atas karpet. Konsekuensinya, dia harus membersihkan dan mengeringkan karpet itu.
Di Indonesia, pendekatan disiplin positif di sekolah masih terbilang baru. Sebagai orang tua murid, Anda dapat mendorong penggunaan disiplin positif ini melalui beberapa cara, melansir Parenting, Rabu, 3 November, yaitu;
Kenali pendekatan disiplin di sekolah anak. Anda dapat mengobrol dan bertanya pada kepala sekolah dan guru kelas anak anda, cara-cara apa yang mereka terapkan untuk menerapkan disiplin di sekolah.
Jadikan diri Anda partner sekolah. Jelaskan pada anak bahwa peraturan sekolah harus dipatuhi meskipun mungkin berbeda dengan peraturan di rumah. Tunjukkan rasa hormat Anda pada guru dan sekolah di hadapan anak.
Anda harus menerima fakta bahwa Anda tidak dapat mengetahui segala hal di sekolah. Guru dan sekolah terlibat kode etik untuk tidak membicarakan perihal murid yang bukan anak Anda dengan Anda. Hal ini juga untuk menghindari perisakan dan prasangka.
Jika sekolah belum mengenal atau menggunakan disiplin positif, Anda bersama Komite Sekolah dapat mengatur sebuah seminar atau pelatihan mengenai disiplin positif yang dapat dihadiri orang tua dan guru.