Bagikan:

Masa seribu hari pertama kehidupan pasca kelahiran amat krusial. Karena dalam masa inilah pembentukan sel otak dan organ tubuh vital lainnya terjadi. Saat bayi mengalami stunting (kurang gizi kronis), tumbuh kembang selanjutnya akan tidak optimal. Karena itu kata Kepala BKKBN Pusat Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) masa 1.000 hari pertama harus menjadi perhatian penuh agar tidak terjadi stunting. Kepada tim VOI, dia berbagi ide soal pencegahan stunting ini.

***

Jangan anggap sepele soal stunting, yang terjadi pada seribu hari pertama kehidupan seorang bayi. Karena setelah masa itu keadaan sudah susah untuk diperbaiki.  Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) mendapat tugas khusus dari Presiden Jokowi untuk mengurangi permasalahan syunting di Indonesia. Apalagi kini sedang menyeruak pandemi COVID-19 yang entah kapan akan berakhir.

Tetapi kata, mantan Bupati Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta ini, meski keadaan sulit tidak boleh menyerah. Dia sudah menyiapkan agenda aksi, saat proposal yang ia ajukan ke pemerintah mendapat persetujuan dari  instansi terkait di atas BKKBN langsung bergerak.  “Saya sudah menyiapkan rencana aksi nasional untuk penanganan stunting, yaitu pendampingan keluarga. Kita akan mengawal orang yang mau menikah dan orang yang mau hamil. Melalui program PKK dan pengerahan bidan yang berpartner dengan penyuluh dan kader PKK. Semua ini dilakukan untuk mencegah stunting,” katanya.

Soal stunting ini berkaitan erat dengan kwalitas SDM kita ke depan. Selama ini menurut data yang dipaparkan Hasto, persoalan stunting menyumbang 27,7 persen,  lalu mental disorder 9,8 persen, selanjutnya difabel-autisme  4 persen dan terakhir  persoalan  nafza 5,1 persen. Inilah fokus BKKBN ke depan bagaimana menjadikan kualitas SDM unggul di masa mendatang.

Stunting ini penting karena setelah 1.000 hari pertama tidak bisa dikoreksi.  “Program ini akan dilakukan dalam 1.000 hari kehidupan pertama. Di sinilah stunting itu bisa dikoreksi. Kalau sudah lewat itu kita menyerah. Soalnya perkembangan otak bayi itu terjadi pada usia itu dua tahun pertama. Setelah itu bisa berkembang tapi tidak maksimal. Begitu juga dengan pertumbuhan fisiknya, juga ditentukan saat usia 1.000 pertama ini,” paparnya.

Masih ada korelasi yang kuat dengan persoalan stunting ini, BKKBN kini lebih mendekatkan diri kepada kaum milenial. Karena itu program-program yang mereka galakkan pun banyak menyasar milenial yang akan menjadi calon pasangan usia subur selanjutnya. Program yang dulu sukses dengan slogan dua anak cukup masih dipertahankan dengan modivikasi menjadi dua anak lebih sehat. Seperti apa BKKBN menjalankan program stunting di tengah pandemi COVID-19 dan juga siasat untuk menyasar kaum milenial? Kepada  Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Meidianto yang menemui Hasto Wardoyo kantor BKKBN Pusat, di bilangan Halim Jakarta Timur, belum lama berselang. Inilah petikan wawancaranya.

Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sebagai lembaga yang bertugas pengendalikan pertumbuhan penduduk, apa target BKKBN, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam mengerem laju pertumbuhan penduduk di Indonesia?

BKKBN harus menghayati betul bahwa success story penurunan jumlah anak atau fertility rate tercapai dalam hal ini dulu 5,6 dan 5,7  di tahun 80-an dan  sekarang menjadi 2,4.  Artinya kita secara kwantitas sudah sudah sadar bahwa kampanye “dua anak cukup” itu sukses.

Ketika kita sudah menyadari itu, sekarang harus sadar penuh juga bahwa kwantitas  tidak cukup, tapi kwalitas jauh lebih penting.  Dalam jangka pendek ini  BKKBN harus punya program-program untuk kampanye karena ahlinya BKKBN itu kan demand creation, jadi bagaimana  masyarakat bisa awareness pada kampanye terhadap kualitas. Jangan hanya punya anak itu targetnya yang penting 2 atau 3 anak tetapi kwalitasnya enggak jelas. Makanya kalau Pak Presiden memberi tugas kepada BKKBN untuk urusan penting itu sebetulnya cocok itu karena kita harus berpikir soal kwalitas.

Untuk jangka panjang dan menengah memang kita ini harus antisipasi bonus demografi tahun 2030 2035. Itu kan ini kan bonus demografi kan agak maju sehingga dependency ratio (rasio ketergantungan) antara yang bekerja dan tidak bekerja itu dulu  dugaan kita di tahun 2025 itu baru mencapai katakanlah setiap 100 orang produktif menampung 46 tahun.   Tapi ternyata tahun 2020 ini Indonesia rata-rata setiap 100 orang hanya menanggung 44. Yang kita khawatirkan jangan-jangan nanti window opportunity-nya maju. Akhirnya aging population-nya maju juga. Kalau itu maju cela untuk sejahterahnya juga maju atau menyempit. Kesemptan untuk sejahterahnya segera akan berakhir. Mungkin tidak sampai pada tahun 2035.

Nah ini harus dipikirkan betul. Kita siap enggak sekarang dengan bonus demografi yang keren, jumlah yang bekerja banyak dan yang tidak bekerja sedikit. Apakah kita sudah siapa kalau nanti bonus itu hilang, di mana orang tua sudah banyak orang tua kita itu pendidikan yang rendah itu kan ada orang tua zaman dulu yang akan mengisi tahun 2030-2040 yang  pendidikannya masih relatif rata-ratanya 7 atau 8 tahun. Siap enggak  kita menghadapi hal seperti ini.

Dulu BKKBN terkenal dengan kampanye dua anak cukup, sekarang  apa ada perubahan?

Kampenye ‘dua anak cukup’ itu sudah sukses menggiring total fertility rate  antara 2 sampai 2,4. Selanjutnya  kita akan bergeser kepada kwalitas, maka sebetulnya sekarang tampaknya harus dua anak lebih sehat. Ini kampanye yang strategis karena  kalau kita bilang ‘dua anak cukup’, sekarang  masalah hak-hak reproduksi sudah sudah bergerak. Soal kesehatan reproduksi harus dihargai,  orang mau punya anak mau tidak punya anak, mau kawin mau tidak kawin itu harus dihargai.

Bagaimana seseorang itu punya otonomi untuk menentukan dirinya mau punya anak maupun tidak punya anak. Sekarang kalau kita berbicara dua anak lebih baik juga masih diperdebatkan. Tapi kalau mengatakan dua anak lebih sehat ini memang evidence-based. Berbagai penelitian di dunia sudah banyak yang mempublikasikan  kalau meneliti jumlah anak dua dibandingkan yang tiga atau  yang lima dengan multiparitas atau grande multiparitas. Ini jelas signifikan dalam arti memang evidence-based bahwa kematian ibunya rendah kematian bayinya juga rendah.

Dalam peringatan Hari Keluarga Nasional yang lalu apa temanya?

Untuk Hari Keluarga Nasional ini kita mengambil tema “Berencana itu keren dan cegah stunting itu penting.” Ada dua hal yang bermakna di sini, keren dan stunting. Kenapa kita itu mengangkat ini karena keren itu juga ke singkatan dari keluarga berencana, tapi keren ini juga istilah yang sangat dekat di hati para anak muda. Ternyata kalimat keren itu bagi anak muda lebih enak daripada keluarga berencana. Sekarang populasi pemuda-pemudi jauh lebih besar, ada 64 juta. Kita harus mendekati remaja, BKKBN harus menjadi sahabat remaja. Kita harus bisa men-down-grade diri dekat dengan remaja, kalau tidak kita gagal. Soalnya remaja itu yang menentukan masa depan bangsa ini ke depan. Mereka yang nanti akan menjadi pasangan hidup baru di mana ada pasangan usia subur baru. Kalau yang usia 35  tahun mereka sudah tidak merencanakan punya anak. Jadi kita kalau bicara harus dengan yang muda. Itulah alasannya BKKBN harus menjadi sahabat remaja.

Kemudian soal stunting, kwalitas SDM kita yang paling mengganggu adalah stunting; 27,7 persen,  lalu mental disorder 9,8 persen, yang ketiga baru di difabel-autisme  4 persen. Tetapi di luar itu ada persoalan  nafza 5,1 persen. Inilah fokus kita, bagaimana agar kwalitas SDM itu bisa unggul.

Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Berapa besar data stunting di Indonesia saat ini?

Di masa pandemi ini para ahli prediksi kematian bayi meningkat, para ahli menduga bayi yang wasting (kurus) ini juga meningkat, dengan prakiraan seperti ini angka stunting juga bisa meningkat. Datanya bisa meningkat terus. Ini yang harus kita waspadai.

Dalam masa pandemi corona ini, seperti apa kasus stunting?

Saat pandemi terjadi otomatis soal stunting juga meningkat soalnya morbiditas naik. Sumber stunting itu ada dua;  sub-optimal nutritional  dan sub-optimal health. Ketika kemiskinan naik dan pengangguran naik pasti ada ancaman sub-optimal nutritional.  Ketika banyak orang takut ke rumah sakit pelayanan kesehatan juga terlambat, akan terjadi sub-optimal health. Inilah yang menjadi catatan kami. Di Indonesia sekarang ada 23 juta balita kira-kira, 2 juta balita di tengarai wasting akan menjadi kurus. Ketika dua juta jadi kurus kurus ini kalau 2 dan 3 bulan akan menghambat perkembangan akan menjadi stunting.

Sebelum pernikahan yang tidak kalah pentingnya untuk mencegah stunting adalah pemeriksaan kesehatan calon bapak dan ibu. Cek darahnya, HB-nya diperiksa, asam folatnya dicek, dan seterusnya. Kalau ini diatasi bisa keren. Semua yang mau nikah harus pelatihan tiga bulan. Kalau ini bisa dilakukan bisa mencegah stunting. Yang mahal-mahal seperti prewedding yang puluhan juta dilakukan sedangkan pemeriksaan kesehatan yang relatif murah diabaikan. Ini yang perlu kita perhatikan untuk meningkatkan kualitas calon generasi penerus.

Di masa pandemi ini di mana ruang piscal menyempit kita harus melakukan penghematan. Pemerintah dengan kebijakannya melakukan penghematan, begitu juga dengan kita di keluarga-kelurga kecil, harus bisa mengubah fokus. Yang penting-penting saja yang diprioritaskan, tidak perlu gaya dan kebutuhan sekuder dan kemewahan.

Di masa pandemi ini pemerintah masih fokus pada upaya pencegahan seperti malakukan vaksinasi, bagaimana dengan program stunting, apakah terkendala dengan keadaan ini?

Saya sudah menyiapkan rencana aksi nasional untuk penanganan stunting, yaitu pendampingan keluarga. Mengawal orang yang mau menikah dan orang yang mau hamil. Melalui program PKK dan pengerahan bidan yang berpartner dengan penyuluh dan kader PKK. Semua ini dilakukan untuk mencegah stunting. Itulah program yang akan dilakukan. Ini bisa juga mengawal bantuan seperti makanan tambahan, dan makakan pendamping ASI.  Program ini akan dilakukan dalam 1.000 hari kehidupan pertama. Di sinilah stunting itu bisa dikoreksi. Kalau sudah lewat itu kita menyerah. Soalnya perkembangan otak bayi itu terjadi pada usia itu dua tahun pertama. Setelah itu bisa berkembang tapi tidak maksimal.

Pertumbuhan pisik juga demikian, seorang bayi minimal panjang saat melahirkan itu 48 cm. Kalau si bayi ini diberi asupan makanan yang bagus dalam 1.000 hari pertama dia akan bisa timbuh maksimal di masa dewasa sekitar 174 cm. Tapi karena mengalami stunting tinggi badannya saat dewasa bisa kurang dari itu, misalnya  160 cm.

Jadi masa krusial ini yang harus kita kawal dan selamatkan agar tidak terjadi stunting.  Jadi kita lebih banyak memikirkan yang mau lahir ini agar mereka bisa terbebas dari stunting.

Soal pranikah dan selama hamil itu yang diperhatikan sekali. Sebelum nikah calon pasangan harus periksa kesehatan,  selama hamil jangan sampai bayi baru lahir panjangnya kurang dari 48 cm. Enam bulan pertama beratnya minimal dua setengah kilogram. Lalu dalam masa  6 bulan pertama itu harus full ASI. Dan selama dua tahun usia bayi kalau bisa ibunya tidak hamil dulu. Inilah upaya konkrit yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting.

Ini Tips Mengindari Stres dari Dokter Hasto Wardoyo 

Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Keseimbangan antara bekerja dan istirahat harus dijaga. Kalau tidak akan memengaruhi kwalitas hidup dan kehidupan.  Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) ini punya tips untuk menghindari stres yang kerap menimpa karena tuntutan pekerjaan yang tinggi.

Yang paling penting menurut dokter umum yang pernah meraih penghargaan Lencana Keteladanan  Bhakti Husada sebagai Dokter Puskesmas Teladan ini, adalah ketenangan. “Saat melakoni pekerjaan yang load-nya tinggi dibutuhkan ketenangan. Selain itu sebagai orang yang beriman ia menyarankan untuk memanjatkan doa kepada yang Maha Kuasa. Doa khusu’ dan berserah diri pada Yang Kuasa bisa membuat diri menjadi tenang,” katanya.

Hal lain yang perlu diperhatikan menurut pria kelahiran Kulonprogo, 30 Juli 1964 ini adalah mengurangi perasaan superior. Terutama bagi mereka yang berperan sebagai tulang punggung keluarga. Bisa ayah, ibu atau seseorang yang menjadi orang tua tunggal. “Ada lho perasaan superior yang berlebihan.  Misalnya dia amat terbebani kalau nanti sudah enggak bisa bekerja lagi. Dia amat tertekan kalau dia sudah tak ada lagi di dunia ini. Padahal belum tentu yang ditinggalkannya itu akan menderita seperti kekhawatirannya. Bisa jadi jadi mereka bisa lebih bahagia setelah kita tiada,” katanya mencontohkan.

Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Lalu bagaimana dengan di di masa pandemi sekarang ini? Untuk masa sulit seperti pandemi COVID-19 ditambah dengan pemberlakuan PPKM Darurat dan beberapa daerah ada PPKM Mikro menurut Hasto, protokol kesehatan mutlak harus  dilakukan. Kalau tak ada pekerjaan mendesak memang lebih baik berdiam di rumah saja. Kuncinya mengurangi mobilitas warga yang berpotensi menyebarkan virus dari satu orang ke orang yang lainnya.

Sedangkan untuk asupan makanan, dia melanjutkan juga tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan imunitas tubuh. Ia mengajurkan banyak mengonsumsi vitamin C yang bersumber dari buah-buahan lokal yang harganya terjangkau. “Saat pandemi seperti sekarang imunitas itu amat penting. Karena bisa membantu tubuh dalam menghalau virus yang masuk,” lanjutnya.

“Di masa pandemi  kesehatan itu nomor, bisa dicapai dengan berolahraga dan mengonsumsi vitamin vitamin C dan vitamin lainnya yang dibutuhkan tubuh.  Itu akan mencegah berbagai macam penyakit,  kalau orang yang sudah umur 45 keatas juga mencegah penuaan. Enggak usah yang mahal-mahal,  jus buah lokal seperti  jus tomat yang murah dan mengandung antioksidan. Ya memang yang besar dari anggur, tapi harganyanya kan lebih mahal,” lanjutnya.

Masih dalam urusan makanan, menurut Hasto, upayakan  mengurangi makanan yang diawetkan atau makanan yang menggunakan bahan pengawet dalam pengolahannya. “Mulai sekarang kurangi makanan yang banyak pengawetnya kalau diri kita mau awet. Saya ngomong begini harapan saya biar orang-orang yang ada di desa, keluarga-keluarga yang menengah ke bawah ini tidak merasa berat hidup menjalani hidup ini. Soalnya apa yang kita butuhkan itu sebenarnya bisa didapat dengan harga yang terjangkau,” tukas alumni Fakultas Kedokteran UGM dan alumni Spesialis Obsetri dan Ginekologi FK UGM ini serta Doktor  di Bidang Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat Vokasional dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini.

Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pesan dari Dokter Hasto tak perlu muluk-muluk ingin mengubah dunia kalau hal itu sulit direalisasikan. “Kita engga perlu ngoyo ingin mengubah dunia, karena hal itu amat sulit dilakukan. Yang perlu difokuskan adalah mengubah diri sendiri dulu. Karena setelah kita bisa mengubah diri kita, efeknya akan berpengaruh pada keluarga, lingkungan bahkan bangsa dan tak menutup kemungkinan negara dan dunia ini,” paparnya.

Di masa pandemi, lanjut ini Hasto marilah kita hidup dengan lebih santai. Tidak merasa dikejar-kejar pekerjaan terus. Lalu tidak menuntut yang bukan hak kita. “Misalnya soal bantuan sosial, tak perlu iri kalau kita memang tidak dapat bantuan dari pemerintah. Karena sudah ada aturan dan ketentuannya siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan,” kata Hasto yang amat memerhatikan interaksi dengan keluarga meski dia terpisah jarak dengan anggota keluarganya.

Satu pencapaian yang amat membahagiakan Hasto. Yaitu ketika menggas ide senam Angguk. Ini adalah tari tradisi yang sudah kuat mengakar di Kuloprogo.  Saat dia menjadi Bupati, tercetuslah ide untuk membuat senam Angguk. “Saya undang professor-profesor ahli senam dan ahli tari. Saya temukan mereka dan hasilnya adalah senam Angguk. Saya senang sekali bisa membantu melahirkan baru yang bersumber dari tradisi luhur masyarakat,” pungkas Hasto Wardoyo.

“Program ini akan dilakukan dalam 1.000 hari kehidupan pertama. Di sinilah stunting itu bisa dikoreksi. Kalau sudah lewat itu kita menyerah. Soalnya perkembangan otak bayi itu terjadi pada usia itu dua tahun pertama. Setelah itu bisa berkembang tapi tidak maksimal. Begitu juga dengan pertumbuhan fisiknya, juga ditentukan saat usia 1.000 pertama ini,”

Hasto Wardoyo