Bagikan:

Selama pelaksanaan pemilu kepala daerah dan pemilihan presiden berlangsung, nama Arief Budiman selalu hadir dalam lini masa pemberitaan. Dia merupakan kepala Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. 

Tiga tahun terakhir jadi masa-masa super sibuk bagi Arief Budiman. Sejak terpilih menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada 2017, Arief mesti menghadapi pemilihan umum (pemilu) untuk tiga tahun berturut turut. Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2017, Pilkada 2018, hingga Pemilu Presiden serta Legislatif 2019 sudah ia arungi. Kini, Arief akan bersiap kembali untuk menghadapi penyelenggaraan Pilkada 2020. 

VOI berkesempatan berbincang dengan Arief di dalam kereta Argo Dwipangga yang melaju dari Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah menuju Gambir, Jakarta Pusat sekitar pukul 16.30 WIB, Minggu, 1 Desember. 

Sejak Jumat lalu, sejumlah pewarta, termasuk VOI, turut berangkat ke Purwokerto mengikuti agenda Komisioner KPU RI. Mereka menggelar rapat kerja bersama seluruh jajaran KPU kabupaten/kota se-Jawa Tengah dalam rangka persiapan Pilkada 2020. 

Pria kelahiran Surabaya, 2 Maret 1974 tersebut mengajak kami ke gerbong restorasi ketika kami meminta dirinya untuk bersedia diwawancarai. Sore hari jadi waktu yang tepat bagi dirinya untuk memesan teh hangat sambil berbincang santai. 

Ketua KPU Arief Budiman bersama putra bungsunya (Diah Ayu Wardani/VOI)

"Sambil ngeteh, ya, biar ngobrolnya enak," ujar Arief sambil menggendong bayi lelakinya yang belum genap satu tahun, menyusuri gerbong demi gerbong menuju tempat sajian makanan dan minuman. 

Arief membawa anak bungsu dan istrinya saat rapat kerja kemarin. Selagi ada waktu ke luar kota, ia menyempatkan untuk berwisata bersama istri dan anak di sekitar Purwokerto. 

Arief mulai menceritakan tentang apa yang ingin ia lakukan sejak menjabat sebagai Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah pada 2004, hingga naik menjadi Anggota KPU RI mulai tahun 2012. 

Dirinya punya cita-cita besar, yakni menyelenggarakan pemilu di Indonesia dengan efektif dan efisien bagi penyelenggara (KPU) maupun peserta pemilu. Bekal ini sudah ia tanam sejak tahun 1999. Kala itu, Arief sudah menjadi penggiat urusan kepemiluan. 

"Dulu, saya bertekad untuk mencari sebab dan solusi kenapa penyelenggaraan pemilu itu mahal, ada dua hal yang saya perkirakan, apakah regulasinya atau KPU tidak mampu bekerja dengan cermat. Ketika saya menjabat sebagai anggota KPU di bidang logistik, saya membuat lelang pengadaan logistik lewat e-Katalog, agar tidak ada yang bermain-main untuk pengadaan," tutur Arief. 

Pria yang pernah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan ini mengakui tiga tahun kepemimpinannya sebagai Ketua KPU terasa melelahkan. Pemilu berturut-turut membuat dirinya sering bekerja overtime

"Tapi itu sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab saya. Tapi saya nikmati saja biar enggak stres," kata dia. 

Arief mengakui, selama menjadi pimpinan KPU, banyak sentimen negatif yang berkembang di masyarakat. Tudingan kecurangan penyelenggaraan pemilu kian berdatangan saat musim Pemilu 2019. Bahkan, serangan tersebut juga menyasar pada pribadi Arief. 

Puncak serangan terjadi pada masa rekapitulasi hasil suara Pemilu 2019. Ada sejumlah pihak yang mendatangi langsung ke Kantor KPU RI. Lewat forum, pihak tersebut menuding Arief berbuat curang hingga mengancam keselamatannya. 

Saat ditanya siapa pihak yang mengancam, Arief mengalihkan pandangannya dari kami yang berada di sampingnya. Ia menatap tegak ke depan posisi badannya dan tersenyum simpul.

"Ada, lah, pokoknya."

Arief Budiman saat menjadi pihak termohon dalam sidang Mahkamah Konstitusi (Irvan Meidianto/VOI)

Tak hanya itu, ia juga banyak mendapat ancaman lewat pesan WhatsApp dengan nomor tak dikenal, yang tak menampilkan foto kala menghubungi Arief. Bahkan, ada ancaman atas nyawa Arief yang masuk lewat aplikasi perpesanan itu. 

"Ada yang mengancam akan meledakkan kantor KPU, ada juga yang sampai mengancam akan membunuh saya,"

Arief Budiman

Setelah diterpa berbagai ancaman, Arief tak mau mencari identitas sang pengancam. Ia hanya membuat laporan kepada pihak kepolisian. Saat itu, pihak kepolisian menawarkan pengawalan yang selalu berada di sekitarnya. Kemudian, mereka mengirimkan petugas untuk mengamankan keluarga Arief di rumah selama beberapa waktu. 

Meski begitu, segala ancaman yang datang tak Arief tertekan.

"Yang tertekan itu justru orang-orang di sekitar saya, keluarga dan sahabat saya. Saya biasa aja lah," tutur dia tertawa.

"Karena saya percaya, umur kita sebenarnya sudah ada garisnya."

Ia meneguk teh yang sudah tidak begitu hangat. AC dalam kereta membuat minuman yang ada di sana lebih cepat dingin. Arief lalu melanjutkan ceritanya. 

Setelah masa jabatan sebagai Ketua KPU habis pada 2022 mendatang, Arief sudah tidak mungkin melanjutkan kerja sebagai penyelenggara pemilu. Dua periode jabatan di KPU Jawa Tengah, ditambah dua periode di KPU RI sudah cukup memberi banyak pengalaman berharga baginya dalam menegakkan sistem demokrasi. 

Lalu, setelah ini mau jadi apa? Ia pun belum merencanakannya dengan matang. Tapi, sedikit bayangan dalam benaknya, ia akan menggunakan waktunya untuk berdagang. 

Urusan perdagangan memang bukan hal baru bagi Arief. Sejak menjadi mahasiswa di Univesitas 17 Agustus 1945 (Untag), ia pernah berjualan susu keliling. Setelahnya, ia juga pernah berdagang busana muslim, hingga rental komputer. 

"Istri saya kan pernah membuka usaha kuliner, tapi dia berhenti saat ikut saya ke jakarta. Jadi, nanti kemungkinan saya dan istri akan melanjutkan usaha katering yang sempat berhenti," tutup dia.