Bagikan:

JAKARTA - Golongan putih atau golput adalah gerakan moral. Fenomena golput bahkan hampir pasti hadir dalam setiap kontestasi pesta rakyat nasional ataupun regional. Bagi mereka pemilihan umum (pemilu) adalah hak. Bukan kewajiban. Memilih untuk tidak memilih jadi narasi yang dilindungi keabsahannya. Apalagi konstitusi pun menjamin.

Berdasar sejarah, golput merupakan istilah yang muncul karena pembangkangan heroik akan Orde Baru (Orba). Para mahasiswa dan pemuda merupakan pelopor dari lahirnya gerakan golput. Kala itu sasarannya jelas.

Para mahasiswa mencoba memprotes pelaksanaan pemilu 1971, yakni pemilu pertama era Orba. Kebanyakan orang beranggapan pemilu tak akan membawa perubahan yang signifikan. Tiap partai politik pada masa Orba diibaratkan boneka yang bergerak sesuai arahan penguasa Orba.

“Inti dari gerakan Golput adalah mengampanyekan kepada masyarakat untuk memboikot pemilu dengan tidak ikut melakukan pencoblosan alias yang mereka sebut golput tersebut. Beberapa aktivis mahasiswa dan budayawan yang aktif terlibat dengan golput ini antara lain yang masih saya ingat adalah Arief Budiman, Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simanjuntak, Imam Waluyo, dan beberapa lainnya lagi,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Waktu mendeklarasikan kelahirannya, golput secara patuh menggunakan tanda gambar yang menyerupai partai penguasa, yakni Golkar: Segi lima dengan warna sepenuhnya putih. Kemudian, lewat logo itu golput mengampanyekannya gerakan ke masyarakat banyak.

“Berbentuk segilima, mirip dengan simbol AURI, IPKI, dan Golkar. Namun, di tengahnya mirip sebuah lukisan abstrak tanpa coretan apa-apa. Cuma warna putih polos,” tulis Ekspres, 14 Juni 1971.

Memilih tak memilih

Golput adalah gerakan untuk datang ke tempat pemungutan suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar. Bukan gambarnya. Dengan demikian suara pemilih jadi tidak sah dan tak dihitung. Karena itu, golput jadi simbol perlawanan terhadap oligarki.

Salah satu pencetus gerakan golput, Arief Budiman pun angkat bicara. Para aktivis, kata kakak dari Soe Hok Gie itu, awalnya melihat kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai pembaharu dalam hal penerapan demokrasi.

Banyak orang berharap Pemilu 1971 mampu memberikan marwah demokratis sesungguhnya. Akan tetapi Soeharto masih belum waktunya memberikan demokrasi terhadap Indonesia.

Arief Budiman menambahkan, dalam konsep trilogi pembangunan yang digaungkan, The Smiling General menyatakan prioritas pembangunannya adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Satu sisi, masalah pertumbuhan dan pemerataan ekonomi jadi urusan para teknokrat ekonomi. Sementara stabiltas politik ditangani militer.

Pada akhirnya, demokrasi bukanlah prioritas. Pemerintah melibatkan militer untuk menjalankan stabilitas politik, seperti melakukan represi. Walhasil, hanya sepuluh partai hasil seleksi militer yang dizinkan ikut.

Apalagi, orang-orang partai yang dianggap kritis terhadap pemerintah tak diperbolehkan menjadi anggota legislatif. Sekelumit hal itu menjadikan “memilih untuk tidak memilih” sebagai perwakilan dari nurani masyarakat pada pemilu 1971.

Kenapa golput

Menurut Arief Budiman, dalam tulisan berjudul Golput: Gejala dan Masa Depannya di majalah Tempo (2004) menjelaskan tiga macam golput. Pertama, golput karena alasan politik, misalnya golput yang memprotes undang-undang pemilu yang tidak demokratis. Golput politik juga bisa terjadi ketika semua calon yang ada dianggap tidak layak.

Kedua, golput karena apatis terhadap pemilu. Politik di Indonesia dianggap sangat elitis sehingga siapa pun yang terpilih, dampaknya tidak akan berguna bagi masyarakat luas karena para elite cuma memikirkan kepentingan mereka sendiri.

“Ketiga, karena ‘kecelakaan.’ Ada banyak orang yang tidak paham aturan pemilu. Misalnya mereka tidak boleh mencoblos di luar gambar partai/calon, atau mencoblos lebih dari satu calon,” Arief Budiman menjelaskan.

Dari ketiganya, memilih karena alasan politik adalah yang paling banyak diperbincangkan. Mereka (para pemilih) tak jarang disebut sebagai protest voters. Protest voters bukan hanya dari individu yang loyal kepada partai, tetapi juga dari kelompok pemilih yang mengambang karena tidak punya pilihan cocok.

“Pernyataan itu bisa dibenarkan karena pemilih merasa kecewa dengan partai maupun calon yang diusung oleh partai. Sehingga kekecewaan inilah yang membuat pemilih sudah tidak sesuai dan cocok lagi dengan partai, terlebih lagi melihat perkembangan saat ini antar satu partai dengan partai lainnya juga tidak jelas visi dan misinya, program dan platform partai,” ujar Roso Prajoko dalam buku Komunikasi Politik dan Perilaku Golput (2020).

Pada akhirnya, fenomena golput merupakan cermin dari problema sistemik dalam struktur demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun. Dalam laporan majalah Tempo 1 Februari 2019 berjudul Pesan Penting Kaum Golput, dijelaskan bahwa kondisi itulah yang membuat oligarki politik menguat. Sementara rakyat mulai kehilangan kedaulatan.

Dengan teknologi digital, kemampuan warga biasa untuk mengorganisasi diri dan mengartikulasikan kepentingan politiknya seharusnya dapat didorong. Hanya dengan cara itu model massa mengambang (golput) yang diwariskan Orde Baru bisa dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Apabila hal itu dilakukan, niscaya warga tak terbata-bata lagi dalam bertutur politik. Selebihnya, perubahan mendasar juga harus dilakukan pada level partai politik dan parlemen.

“Aturan ngambang batas pencalonan presiden mesti direvisi buat memberikan kesempatan bagi semua calon yang kompeten untuk ikut berkompetisi. Syarat pembentukan partai politik dan model pemilihan anggota Dewan juga harus dipermudah agar semua warna di masyarakat kita yang majemuk terwakili dalam spektrum politik parlemen. Tanpa perombakan semacam itu, fenomena golput bakal terus menghantui kita, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya,” tutupnya laporan tersebut.