Arief Budiman yang Terdepak dari Kursi Ketua KPU karena Dianggap Melawan Putusan DKPP
Ketua Komisi Pemilihan Umum RI, Arief Budiman. (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, Rabu, 13 Januari, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang putusan perkara dengan temohon Ketua Komisi Pemilihan Umum RI, Arief Budiman. Hasilnya, DKPP memberhentikan Arief Budiman dari jabatan KPU.

Perkara ini diajukan oleh seorang yang bernama Jupri dengan latar pekerjaan wiraswasta. Jupri menggugat Arief ke DKPP lantaran Arief dianggap melakukan pelanggaran kode etik sebagai Ketua KPU.

Semula, DKPP memberhentikan Evi Novida Ginting Manik karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Pengesahan pemberhentian jabatan Evi dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden Jokowi Nomor 34/P Tahun 2020.

Evi kemudian menggugat SK Jokowi ke PTUN Jakarta. Saat pendaftaran sidang pada 17 April 2020, Arief hadir mendampingi Evi sebagai individu yang memberi dukungan moril. 

Selain itu, Arief juga digugat karena diduga melampaui kewenangannya yakni menerbitkan surat KPU RI Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020, pada 18 Agustus 2020.

Dalam pembacaan sidang putusannya, Ketua DKPP Muhammad menyebut pihaknya mengabulkan permohonan Jupri sebagian. DKPP memberhentikan Arief dari jabatan Ketua KPU.

"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU RI," kata Ketua DKPP, Muhammad dalam sidang putusan yang ditayangkan YouTube DKPP RI, Rabu, 13 Januari.

Melanjutkan, Anggota DKPP Didik Supriyanto menyebut pihaknya memahami pengakuan Arief yang kehadirannya sekadar memberi dukungan moril, simpati, dan empati didasarkan pada rasa kemanusiaan sebagai individu karena telah lama bersahabat dengan Evi. 

"Namun, ikatan emosional tidak sepatutnya menutup atau mematikan sense of ethics dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi karena di dalam diri teradu (Arief) melekat jabatan ketua KPU merangkap anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapapun kecuali ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu," tutur Didik dalam sidang putusan DKPP.

Dalam kedudukannya, menurut Didik, seharusnya Arief tidak terjebak dalam tindakan emosional dalam menempatkan diri di ruang publik. Hal itu, kata dia, berimplikasi pada kesan  pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang telah memberhentikan Evi dari jabatannya.

"Kehadiran teradu dalam setiap kesempatan di ruang publik mendampingi saudari Evi dalam usaha memperjuangkan haknya menyebabkan KPU secara kelembagaan terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP," jelasnya.

Lebih lanjut, Arief juga dinilai tidak memiliki dasar hukum maupun etik saat menerbitkan Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat ini berisi memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai Anggota KPU RI saat PTUN Jakarta memenangkan gugatan Evi.

Kata Didik, surat tersebut tidak memiliki alat bukti yang cukup berupa dokumen berita acara rapat pleno atau alat bukti lainnya. Sehingga, pengakuan Arief yang menyebut pengangkatan Evi merupakan keputusan semua anggota KPU tidak dapat dibuktikan. 

“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” sambung Didik. 

Dengan demikian, Arief dianggap melanggar Pasal 14 huruf (c) juncto Pasal 15 huruf (a) dan huruf e juncto Pasal 19 huruf (c) dan (e) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

Dissenting opinion

Anggota DKPP lain yang juga merupakan Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi menggunakan haknya dalam persidangan untuk menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari mayoritas pendapat majelis hakim DKPP.

Menurut Pramono, tindakan Arief dalam menerbitkan tanda tangan surat yang memerintahkan kembali Evi menjabat sebagai Komisioner KPU tidak termasuk pelanggaran berat yang menciderai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu, atau pelanggaran etika berupa tindak asusila yang selama ini sering mendapatkan sanksi yang paling berat, baik berupa pemberhentian tetap atau pemberhentian dari jabatan tertentu. 

Sehingga, kata dia, Arief tidak selayaknya mendapat sanksi berat berupa pemberhentian dari jabatan Ketua KPU.

"Seandainya, tindakan tersebut dianggap sebagai sebuah pelanggaran, maka saya berpandangan bahwa Saudara Arief Budiman tidak selayaknya untuk dijatuhi sanksi paling berat," ungkap Pramono.

Pembelaan diri Arief Budiman

Arief Budiman mengatakan, apa yang dia lakukan bukanlah tindakan kejahatan pemilu, mengacu pada dissenting opinion Pramono. 

"Satu saja yang ingin saya tegaskan bahwa saya tidak pernah melakukan pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas pemilu," kata Arief kepada wartawan.

Dalam putusan pemberhentian itu, DKPP memerintahkan KPU menindaklanjuti putusan tersebut. Arief menyebut pihaknya masih menunggu salinan putusan untuk dipelajari. Setelah menerima salinan, KPU akan menggelar rapat pleno oleh semua komisioner.

"Hard copy (salinan putusan) kami belum nerima. Nah kita tunggu, kita pelajari, barulah nanti bersikap kita mau ngapain," ungkap Arief.