Bagikan:

Ada tiga dosa besar di dunia pendidikan kita yang sempat diungkap Mendikbudristek Nadiem Makarim, yaitu perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, M.Si, ketiga hal itu harus diatasi dan menjadi perhatian semua pihak.

***

Ketiga dosa yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia ini adalah tragedi yang tak bisa ditoleransi. Semua pihak, kata Ai, dari pemerintah, legislatif, guru dan dosen, pengamat, pemerhati pendidikan, orang tua, hingga masyarakat harus menyadari bahwa hal ini bisa berdampak buruk bagi anak dalam jangka waktu yang panjang.

Perundungan, misalnya, terjadi di semua level pendidikan. Kasus perundungan tidak mengenal latar belakang sekolah, bisa terjadi di sekolah umum maupun yang berlatar keagamaan. Lokasinya pun tersebar di desa dan perkotaan. Bahkan, sekolah yang berkelas internasional pun terpapar persoalan perundungan. “Kami mencatat ada 134 kasus di dunia pendidikan atau sekolah yang terjadi di tahun 2023, yang tertinggi adalah kasus perundungan. Kalau diperluas ke luar sekolah, angkanya menjadi 446 kasus. Jadi perundungan itu terjadi di sekolah dan luar sekolah,” katanya.

Ketiga isu ini sudah masuk dalam radar Kemendikbudristek dan telah terjadi secara turun-temurun. Sebelumnya, perundungan di lingkungan sekolah diatur seputar pemalakan, kekerasan verbal, dan fisik saja. Sekarang sudah berkembang jauh, dan persoalan ini sudah direspons oleh negara. Langkah berikutnya adalah pembentukan tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023. Sekolah-sekolah sudah 90% membentuk lembaga ini.

Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang beririsan dengan prostitusi anak juga menjadi perhatian KPAI. “Untuk TPPO anak, angkanya 380 kasus. Dari angka itu, kasus tertinggi adalah prostitusi online. Anak-anak masuk dalam prostitusi online, sebagian dari itu terjerat dalam pornografi,” kata Ai.

Salah satu pemicu tingginya jumlah anak yang masuk ke lingkaran prostitusi ini, menurut Ai Maryati Solihah, adalah kemajuan teknologi informasi yang disalahgunakan. “Rekrutmen dan pemasaran mereka dilakukan secara terang-terangan lewat media sosial. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menemukan kejahatan seksual pada anak-anak ini melalui transaksi yang terpantau,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto dari VOI yang menemuinya di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, belum lama ini. Berikut petikan selengkapnya.

Tak hanya terjadi di sekolah, kasus perundungan kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah terjadi di luar sekolah. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Tak hanya terjadi di sekolah, kasus perundungan kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah terjadi di luar sekolah. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Perundungan terjadi dan terjadi lagi, bagaimana KPAI melihat persoalan ini?

Kasus perundungan sangat eskalatif dan sangat berdampak pada korban. Terjadinya pun tak memandang sekolah umum atau yang berlatar agama, sekolah nasional maupun internasional. Semua bisa terjadi tanpa melihat latar belakang tersebut. Kami mencatat ada 134 kasus di dunia pendidikan atau sekolah yang terjadi di tahun 2023, dan yang tertinggi adalah kasus perundungan. Jika diperluas ke luar sekolah, angkanya menjadi 446 kasus. Jadi, perundungan itu terjadi di sekolah dan luar sekolah. Ini yang harus menjadi perhatian. KPAI harus menjadi lembaga yang berperan ketika regulasi soal perundungan diperkuat. Permendikbudristek No. 46 tahun 2023 adalah komitmen negara untuk memperkecil ruang perundungan yang terjadi di dunia pendidikan.

Ada tiga dosa besar dalam dunia pendidikan yang digarisbawahi oleh Mendikbudristek: perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. Jadi, ketiga isu ini sudah masuk dalam radar Kemendikbudristek yang terjadi secara turun-temurun. Sebelumnya, yang diatur soal perundungan di lingkungan sekolah hanya seputar pemalakan, kekerasan verbal, dan fisik. Sekarang sudah berkembang jauh, dan persoalan ini sudah direspons oleh negara. Langkah berikutnya adalah pembentukan tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 tahun 2023. Sekolah-sekolah sudah 90% membentuk lembaga ini.

Harapan Anda dengan adanya PPKSP ini apa?

Memang untuk menghapus perundungan perlu proses. Harapannya, kasus perundungan bisa menurun setelah tim ini terbentuk dan bekerja. Tetapi sampai hari ini, pengaduan soal perundungan yang masuk ke KPAI tetap ada. Ini bisa menjadi alarm bagi kita semua. Meski sudah ada UU, peraturan menteri, dan sosialisasi, ternyata masih ada juga kasus perundungan. Tujuan kita adalah zero kasus untuk perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual di sekolah.

Perundungan yang terjadi di Binus School Serpong dan Binus School Simprug menjadi perhatian banyak pihak. Bagaimana penyelesaiannya?

Kami mengapresiasi pihak sekolah yang kooperatif, juga orang tua korban. Tanpa peran serta pihak sekolah, kasus seperti ini sulit untuk dihentikan. Kasus perundungan bukan untuk ditutupi atau menyelamatkan pihak di luar korban. Kami akan memberikan dukungan kepada korban. Namun, perlu diingat bahwa pelaku perundungan juga anak-anak. Mereka juga harus dibina, tidak boleh serta-merta langsung dipenjara. Kita juga harus memikirkan masa depan anak-anak tersebut. Hukum tetap ditegakkan untuk memberikan rasa adil kepada korban, tetapi pelaku juga harus dibantu. Tidak boleh sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Perundungan harus diselesaikan secara integral. Anak-anak yang menjadi korban maupun pelaku harus dirangkul, agar mereka bisa bangkit. Semua pihak harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Setelah masalah ditemukan, harus diselesaikan dengan tuntas.

Persoalan TPPO juga menjadi perhatian KPAI, bagaimana dengan hal ini?

TPPO menjadi tantangan bagi negeri ini karena peristiwanya terkoneksi antardaerah dan antarnegara. Jika terjadi pada PMI (Pekerja Migran Indonesia), mereka sering mengalami penipuan, bekerja tanpa dokumen, tanpa kejelasan status, dan tanpa kejelasan gaji. Untuk TPPO anak, ada 380 kasus, dan dari jumlah tersebut, kasus tertinggi adalah prostitusi online. Anak-anak masuk dalam prostitusi online, dan sebagian dari mereka terlibat dalam pornografi. Anak-anak melakukan aktivitas seksual yang rekamannya tersebar dan dijual bebas di dunia maya.

Ada juga kasus jual-beli bayi dari Depok (Jawa Barat) ke Bali. Pelaku membuat orang tua dengan sukarela menyerahkan bayinya. Di tempat lain yang berkedok panti asuhan, terdapat 12 ibu yang sedang hamil. Dua hari sebelum saya datang, sudah ada dua ibu yang melahirkan, dan setelah lahir, anak-anak ini langsung dijual. Ada juga orang yang bertugas mencari adopter (orang tua asuh). Jadi, unsur TPPO-nya sudah terpenuhi. TPPO ini melibatkan akumulasi uang yang sangat besar. Satu bayi dihargai hingga Rp45 juta.

Tak mudah menuntaskan persoalan perundungan, menurut  Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, semua pihak harus kooperatif. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Tak mudah menuntaskan persoalan perundungan, menurut  Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, semua pihak harus kooperatif. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Bagaimana dengan prostitusi anak?

Ini juga amat miris, seorang anak yang terjerat dalam lingkaran setan prostitusi online harus melayani 20 orang per hari. Kalau tidak mencapai angka itu, anak itu akan didenda. Ini yang amat menyedihkan. Mereka tak punya kuasa atas tubuh mereka sendiri.

Apa yang mempengaruhi tingginya angka prostitusi anak ini?

Salah satunya karena pesatnya perkembangan teknologi informasi yang disalahgunakan. Rekrutmen dan pemasaran mereka terang-terangan lewat media sosial. PPATK menemukan kejahatan seksual pada anak-anak ini melalui transaksi yang terpantau.

Dalam kejahatan seksual yang melibatkan anak ini ada pelaku dan ada korban. Apa efek jera untuk pelaku dan apa yang bisa dilakukan orang tua dalam membentengi anak-anaknya?

Setiap aduan yang masuk ke KPAI, kami selalu mendudukkan anak-anak ini sebagai subyek hukum. Kalau dia korban, dia tetap manusia yang punya hak untuk tumbuh dan berkembang, apalagi dia masih anak-anak dan punya masa depan. Mereka yang menjadi korban trafficking dan kejahatan seksual ini, biasanya karena mengalami kekerasan seksual, misalnya saat pacaran kebablasan. Lalu mereka biasanya tak asing dengan dunia malam. Ada juga yang bermasalah di sekolah, seperti jarang masuk. Dan berikutnya karena faktor lingkungan.

Penyebab lain adalah pola asuh orang tua yang tidak tepat. Anak-anak lebih mementingkan teman nongkrongnya dari pada orang tua. Kalau ini bisa diketahui lebih dini oleh orang tua mereka bisa melakukan pencegahan. Data di KPAI tahun 2020, anak-anak yang terjerumus dalam kejahatan seksual ini tidak mendapat pengasuhan yang tepat, mereka banyak dipengaruhi teman-teman di media sosial.

Untuk pelaku kejahatan seksual pada anak-anak apa yang dilakukan agar ada efek jera?

Untuk pelaku seperti diatur dalam UU no 21 Tahun 2027 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, ada pemberatan 15 sampai 20 tahun untuk pelaku yang terbukti. Penegak hukum kadang kesulitan meski sudah ada  UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Soalnya para pelaku kadang mengatakan kalau mereka tidak melakukan pemaksaan, anak-anaknya yang mau. Mereka beralasan seperti itu. Yang saya amati UU No 35 tahun 2014 ini masih lemah dalam mengatur eksploitasi seksual anak di ranah online.

Kasus terbaru di Kota Tangerang pengasuh panti asuhan justru mencabuli anak asuhnya, bagaimana penyelesaian kasus ini?

Kasus ini sangat miris, saya dua hari berturut-turut menyambangi panti asuhan tersebut. Ada empat anak yang mengalami kekerasan seksual oleh pembina dan pengasuh panti asuhan itu. Untuk anak-anak kami lakukan pengawasan sedangkan untuk pelaku kami dorong untuk dilakukan proses hukum atas kejahatan yang sudah mereka lakukan.

Karena itu kita harus berhati-hati dengan perkumpulan atau panti asuhan yang tidak didaftarkan ke Kementerian terkait. Ini tanda-tanda kalau mereka tidak mau diganggu atau diintervensi. Jangan silau dengan namanya yang bercorak keagamaan tertentu. Dalam konteks di Kota Tangerang ini kami juga akan berkoordinasi dengan Kemendagri karena mereka juga berkaitan dengan perangkat negara terdekat seperti RT/RW dan Kelurahan. Mereka  seharusnya juga melakukan pengawasan.

Apa harapan Anda agar kasus seperti di Kota Tangerang ini tidak terjadi lagi?

Kecerdikan pengasuh panti asuhan ini adalah dengan menonjolkan sisi keagamaan dari lembaga mereka. Ini menjadi motif seseorang untuk melancarkan tujuannya. Selain itu, anak-anak asuh di sana bukan berasal dari lingkungan sekitar, dan ini harus diungkap, termasuk pola rekrutmen atau upaya jemput bola mereka. Dalam kasus Kota Tangerang ini, mereka tidak mencantumkan rekening atas nama yayasan, tetapi pribadi. Beberapa donatur mengeluh kepada saya, awalnya mereka percaya, namun setelah kasus ini terungkap, baru menyesal.

Untuk kasus ini, Pak Mensos Saifullah Yusuf juga turun langsung. Semoga aspek regulasi lembaga sosial seperti ini bisa dibenahi agar kasus serupa tidak terjadi di masa yang akan datang. Semoga dari kasus ini, kita bisa lebih waspada dalam melakukan pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang. Ini adalah pembelajaran besar bagi kita semua.

Apa harapan Anda pada Presiden Prabowo untuk persoalan anak-anak di Indonesia kini dan nanti?

Kami dari KPAI akan bekerja maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPAI, sesuai dengan amanat UU, adalah lembaga independen yang fokus pada urusan perlindungan anak. Kepada Pak Prabowo, kami berharap persoalan anak-anak dapat menjadi perhatian. Soal stunting masih menjadi pekerjaan rumah kita semua, bagaimana angka stunting bisa ditekan. Selain itu, soal wajib belajar untuk anak, bagaimana benar-benar diimplementasikan agar semua anak-anak dapat mengenyam pendidikan.

Akses internet dan internet sehat juga masih sangat dibutuhkan oleh anak-anak kita. Namun, bagaimana caranya mereka dapat menikmati layanan internet yang tetap berada dalam kategori sehat untuk tumbuh kembang mereka. Hal ini belum terwujud dan harus menjadi perhatian. Kami juga mengapresiasi program makan bergizi gratis, semoga dapat terwujud dan tepat sasaran, karena ini akan menjadi investasi penting menyambut Indonesia Emas 2045.

Apa lagi yang KPAI harapkan?               

Anak-anak kita harus tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif. Anak-anak harus tumbuh dalam pola pengasuhan positif. Ini masih kurang dipahami oleh banyak pihak. Saat ini, masih banyak pola asuh yang mendisiplinkan anak dengan cara kekerasan. Misalnya, dilarang tetapi dengan dibanting, atau dihukum tetapi dengan dikunci di kamar mandi. Pengasuhan positif seharusnya bisa menjadi program dan kurikulum di tengah masyarakat.

Selain persoalan di hulu, ada juga persoalan di hilir yang harus diselesaikan, yaitu penegakan hukum terhadap kejahatan yang menimpa anak-anak. Terkadang anak menjadi korban, tetapi tidak jarang pelakunya juga anak-anak. Mengenai penegakan hukum, semua pihak harus memiliki satu visi, antara penegak hukum, KPAI, dan lembaga-lembaga yang peduli pada perlindungan anak. Meski anak harus melalui proses hukum, hak mereka untuk tumbuh kembang dan mendapatkan pendidikan harus tetap terjamin.

Ini Kisah Ai Maryati Solihah Tertarik pada Perlindungan Anak

Sejak kecil Ai Maryati Solihah sudah akrab dengan dunia anak-anak, tak heran jika setelah lulus kuliah dia mengabdi sebagai guru dan konsisten dengan dunia anak. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Sejak kecil Ai Maryati Solihah sudah akrab dengan dunia anak-anak, tak heran jika setelah lulus kuliah dia mengabdi sebagai guru dan konsisten dengan dunia anak. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Ketertarikan Ai Maryati Solihah, M.Si, yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada dunia anak-anak tidak mendadak muncul. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan lingkungan anak-anak. Keadaan ini terus tumbuh dan berkembang sampai ia besar dan mengabdikan ilmunya untuk lingkungan pendidikan dan perlindungan anak Indonesia.

Besar di lingkungan pesantren keluarga yang didirikan orang tuanya membuat Ai terbiasa berhadapan dengan pendidikan anak-anak. “Saya sudah terbiasa menangani anak-anak yang ribut saat ngaji di pesantren kami, padahal usia mereka kadang di atas saya. Di situlah saya menemukan keseruan dalam dunia pendidikan,” ujar perempuan kelahiran Cianjur, 17 Desember 1980.

Satu hal yang membuat Ai kecil sangat senang adalah saat ada acara pentas di pesantrennya. Saat itu, setiap santri diberi kesempatan untuk unjuk kebolehan dalam hafalan surat Al-Qur’an di depan orang tua dan masyarakat. “Orang tua saya berharap saya, kalau sudah besar, bisa menjadi guru agama di kampung setelah selesai kuliah,” ungkapnya.

Namun, harapan orang tua yang menginginkannya mengajar di kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat, tidak serta-merta bisa direalisasikan. Kehidupan di Fakultas Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, membuka wawasan dan pergaulan Ai. “Di luar aktivitas di kampus, saya aktif dalam membina anak-anak pemulung di tempat pembuangan akhir (TPA) Cingkring, Kabupaten Bandung. Ternyata di tempat itu, kondisinya tidak seindah di kampung saya,” ungkap Ai.

Dia bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), menginisiasi pendidikan alternatif untuk anak-anak pemulung di TPA itu. “Yang kami berikan adalah pendidikan formal dan pendidikan agama Islam seperti mengaji dan belajar membaca Al-Qur’an,” kata Ai, alumni S2 Ilmu Politik FISIP UNAS Jakarta (2014).

Upaya Kompromi

Anak yang menjadi korban perundungan dan anak yang menjadi pelaku perundungan, menurut Ai Maryati Solihah semua harus dirangkul. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Anak yang menjadi korban perundungan dan anak yang menjadi pelaku perundungan, menurut Ai Maryati Solihah semua harus dirangkul. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Ai tidak bisa egois dengan keinginannya sendiri. Ia pun berkompromi dengan keinginan orang tuanya yang menginginkannya menjadi guru. “Saya turuti keinginan orang tua, akhirnya saya menjadi guru ASN dan bertugas di Jakarta. Bedanya, saya sudah tercerahkan dengan persoalan gender, HAM, edukasi, perlindungan anak, kekerasan anak, serta perundungan yang begitu banyak terjadi,” kata Ketua Umum Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Putri (KOPRI) 2005–2008.

Ai tidak bisa diam melihat kenyataan masih banyak anak-anak Indonesia yang membutuhkan pertolongan. Ia pun mendaftar saat KPAI membuka lowongan komisioner pada tahun 2016. “Saat fit and proper test, saya tidak punya ekspektasi lebih, soalnya saingan saya banyak yang senior dan hebat-hebat. Ternyata saya menjadi pilihan tertinggi dari Komisi VIII DPR RI. Jadilah saya terpilih sebagai komisioner KPAI pada 2017,” ungkapnya.

Ketika tugasnya hanya sebagai guru ASN di sebuah sekolah di Kemayoran, Ai masih mudah mengatur waktu untuk anak dan keluarga. Namun, setelah kesibukannya bertambah sebagai komisioner KPAI Pusat, ia mulai kewalahan. “Setelah jadi komisioner KPAI, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, urusannya penuh untuk anak-anak Indonesia. Saya harus bisa membagi waktu antara anak sendiri dan anak-anak pada umumnya,” akunya.

Untuk peran menyiapkan makan dan menyuapi, Ai tidak menyerahkannya kepada ART. “Meski saya capek sekali, saya berusaha tetap melakukannya. Soalnya momen itu tidak akan terulang. Saya harus memanfaatkannya seoptimal mungkin,” tegasnya.

Ai selalu menyarankan kepada anak-anaknya untuk bercerita apa saja yang dialaminya sehari-hari, baik di rumah dengan ART atau di sekolah, maupun saat bermain setelah pulang sekolah. Dari sana, dia akan mengidentifikasi apakah anak-anaknya mengalami hal-hal yang aneh. “Waktunya dua jam menjelang anak-anak tidur. Saya akan menjadi pendengar setia bagi anak-anak. Ini adalah golden moment bagi kami,” katanya.

Perhatian untuk Anak

Meski sibuk dengan aktivitas perlindungan anak melalui KPAI dan organisasi lain, ia tetap memerhatikan tumbuh kembang anak-anaknya. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Meski sibuk dengan aktivitas perlindungan anak melalui KPAI dan organisasi lain, ia tetap memerhatikan tumbuh kembang anak-anaknya. (Foto; Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Kini kedua anaknya sudah menempuh pendidikan di pesantren. Meski sudah terpisah, ia tetap menjaga komunikasi dengan anak-anaknya melalui pengasuh mereka di pondok pesantren.

Ai membangun ikatan yang kuat dengan anak-anaknya meski mereka tidak dalam pengawasannya langsung. “Itulah pentingnya anak harus menceritakan apa yang dialaminya dan dengan siapa dia bertemu. Terkadang anak saya tak ingin diketahui aktivitasnya. Saat berada di tempat A, dia mengatakan berada di tempat B. Untuk mengatasi kesenjangan ini, saya memiliki 'mata-mata',” katanya.

Soal makanan juga diperhatikan oleh Ai. “Memang anak-anak tidak serta-merta mau makan makanan sehat. Karena itu, jangan lelah membuatkan mereka makanan dan menyemangati mereka agar mau makan makanan sehat,” ujarnya.

Menurut Ai, anak-anak memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan dan meraih cita-cita. “Tidak boleh ada disparitas antara anak-anak yang tinggal di desa dan yang di kota. Mereka punya kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Jadi, anak-anak harus tetap semangat,” kata Ai yang kini tengah menyelesaikan program S3 Ilmu Politik di UNAS Jakarta.

Kepada anak-anak, ia mengingatkan untuk tidak ikut-ikutan dalam bergaul. “Tidak boleh ikut-ikutan dalam bergaul, jangan karena solidaritas lantas memaksakan diri untuk bergaul dengan kelompok tertentu. Stop! Kalian harus punya kepribadian dan pendirian,” katanya, menekankan bahwa anak-anak tidak boleh takut untuk bermimpi dan mengejar cita-cita karena jalan ke arah itu banyak.

Kepada para orang tua, dia juga mengingatkan untuk tidak terlalu memaksakan kehendak dalam pendidikan. “Berikan kebebasan kepada anak untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Masukan dan arahan boleh diberikan, namun jangan memaksakan anak untuk menjalankan sesuatu yang tidak dia sukai. Karena dia yang akan menjalankan semuanya,” saran Ai Maryati Solihah.

"Perundungan harus diselesaikan secara integral. Anak-anak yang menjadi korban maupun pelaku semua harus dirangkul agar mereka bisa bangkit. Semua pihak harus bergandengan tangan menyelesaikan persoalan ini. Setelah masalah ditemukan, harus diselesaikan dengan tuntas,"

Ai Maryati Solihah