Kondisi industri tekstil dan garmen Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana. Langkah efisiensi yang dilakukan tiga tahun lalu kini sudah tak bisa lagi diterapkan. Dalam tiga tahun terakhir, hampir 200.000 karyawan telah di-PHK.
***
Pemerintah, wakil rakyat, dan pihak-pihak yang berkepentingan seyogianya menyadari realitas ini, sehingga bisa secara bersama-sama mencari solusi agar industri tekstil dan garmen dalam negeri dapat dibantu untuk bangkit. “Situasi PHK ini sudah tidak terkendali. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah karyawan yang di-PHK hampir mencapai 200.000, dan hanya dalam satu bulan terakhir, hampir 30.000 orang diberhentikan,” ujar Danang.
Menurut Danang Girindrawardana, ada beberapa hal yang membuat industri tekstil dan garmen dalam negeri berada dalam posisi sulit. Pertama, karena ketatnya persaingan di antara negara-negara produsen tekstil. Dalam konteks ini, industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan China, Bangladesh, dan Vietnam. Kedua, masuknya produk tekstil dari mancanegara yang begitu deras, baik barang baru maupun pakaian bekas alias thrifting.
Dan ketiga, pemerintah yang bersikap setengah hati dalam membantu dan melindungi industri tekstil dalam negeri. “Saya melihat negara masih setengah hati melindungi pelaku industri tekstil dalam negeri. Upaya ada, tapi realisasinya tidak maksimal. Akhirnya, hasilnya juga tidak bagus. Importir ilegal tidak ditindak tegas,” katanya.
Meski kondisi industri tekstil sudah demikian terpuruk, asa masih tetap ada. Kepada pemerintahan Prabowo, yang tak lama lagi akan melanjutkan pemerintahan, ia menaruh harapan. Menurutnya, Prabowo harus bisa mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap industri padat karya dan industri kreatif seperti tekstil dan garmen. Soalnya, industri padat karya inilah yang bisa menyerap problem tenaga kerja dan bonus demografi.
“Ini adalah tantangan bagi Pak Prabowo untuk membuktikan janji kampanyenya. Dia harus fokus pada tiga industri penting, meskipun yang lain tak boleh ditinggalkan, yaitu industri padat karya, industri kreatif, dan industri ketahanan pangan,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Januar saat bertandang ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum lama ini. Inilah petikan selengkapnya.
Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan berat, banyak pabrik yang tutup dan karyawan di-PHK, seperti apa kondisinya saat ini?
Yang menarik bagi publik adalah banyaknya karyawan pabrik tekstil yang di-PHK. Situasi PHK ini sudah tidak terkendali. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah karyawan yang di-PHK hampir mencapai 200.000, dan hanya dalam satu bulan terakhir, hampir 30.000 orang diberhentikan. Alasan pemberhentian ini karena banyak pabrik yang tutup. Tiga tahun lalu, pabrik masih bisa melakukan efisiensi, tetapi sekarang hal itu sudah tidak bisa lagi. Dalam dua tahun terakhir, ada 22 pabrik tekstil yang tutup.
Berapa banyak produksi tekstil nasional dalam dua tahun belakangan ini?
Untuk angka produksi yang konkret, kita tidak bisa menyampaikan secara pasti, tetapi utilisasi mesin saat ini di pabrik-pabrik yang masih ada hanya sekitar 50-60 persen. Jadi, produksi kita hanya setengah dari kapasitas maksimal. Dengan munculnya mesin tekstil baru, mesin-mesin lama menjadi tidak efisien, karena biaya listrik sama, tetapi produksi mesin baru lebih banyak. Akhirnya, mesin lama yang tidak efisien tersebut dipinggirkan dulu, sambil berharap suatu saat nanti industri ini bisa bangkit, dan mesin-mesin tersebut dapat digunakan kembali.
Saat ini, berapa banyak pengusaha yang tergabung di API?
Ada sekitar 600-an pengusaha yang tergabung di API. Dari jumlah itu, 200-250 pengusaha tekstil berskala besar. Di sektor tekstil, usaha kecil dan menengah juga cukup banyak. Namun, jangan bayangkan usaha kecil dan menengah tekstil itu seperti warung kelontong; mereka memiliki 100-200 unit mesin.
Kalau kita petakan, di mana saja sentra industri tekstil itu?
Ada empat wilayah besar yang menjadi sentra industri tekstil kita, yaitu Banten; Jawa Barat, di Bandung dan sekitarnya; Jawa Tengah dan DIY, di Solo, Yogyakarta, Boyolali, dan Semarang; serta Jawa Timur, di sekitar Surabaya dan Sidoarjo. Ada dorongan untuk memindahkan pabrik tekstil ini ke kawasan berikat, agar arus suplai lebih mudah dan pengelolaan limbah bisa lebih terkendali.
Indonesia harus berhadapan dengan China, Vietnam, dan Bangladesh. Apa kelebihan negara-negara itu dalam bidang tekstil dibandingkan Indonesia?
China adalah produsen terbesar, disusul Bangladesh. Di kawasan Asia Tenggara, kita berada di bawah Vietnam. Banyak pabrik yang memproduksi baju-baju merek ternama ada di Indonesia, Vietnam, dan Bangladesh. Jadi, kita bersaing dengan negara itu. Di negara tersebut, persoalan buruh jarang terjadi gejolak. Di Indonesia, sangat mudah terjadi gejolak. Di China, apalagi, tidak ada demo buruh. Pemerintah di sana mampu mengakomodasi kebutuhan buruh sebelum mereka bergerak.
Khusus untuk Vietnam, harus kita akui, mereka bukan hanya telah meninggalkan Indonesia dalam industri padat karya seperti garmen dan tekstil, tetapi juga dalam industri maju seperti otomotif. Mereka maju pesat. Salah satu faktornya adalah manajemen perburuhan yang jauh lebih siap dibanding kita. Bangladesh memiliki keunggulan dari segi jarak dengan negara Eropa, sehingga mereka lebih kompetitif. Kelebihan kita terletak pada kualitas, karena itulah merek internasional masih melakukan produksi di Indonesia. Saat ini, ada pertanyaan tentang stabilitas politik, namun kita belum tahu apakah ini akan berpengaruh. Kita harus berhati-hati agar stabilitas terjaga sehingga tidak memengaruhi industri tekstil.
Mengapa soal stabilitas ini penting?
Pengusaha yang ingin berinvestasi tidak ingin modal mereka hilang; mereka ingin mendapatkan keuntungan. Jika stabilitas tidak terjaga, tidak ada jaminan usaha bisa berjalan lancar, dan mereka akan berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Di China dan Vietnam, situasi politik lebih stabil. Bangladesh baru-baru ini mengalami gejolak, dan ini sangat berpengaruh terhadap kinerja industri di sana. Kita tidak ingin Indonesia mengalami hal yang sama. Jika stabilitas politik di Indonesia tidak terjaga, akan muncul pesaing baru seperti Kamboja dan Laos, sementara Vietnam yang sudah unggul akan semakin menjauh dari kita.
Dalam biaya produksi, Indonesia dibandingkan dengan negara kompetitor tadi berada di level rendah, sedang, atau tinggi?
Kita berada di posisi sedang. China bisa memiliki biaya produksi yang lebih rendah, karena teknologi manufakturnya lebih bagus. Ini karena ada keterlibatan pemerintah mereka. Akhirnya muncul tuduhan adanya dumping dari mereka, tapi ini tidak mudah untuk dibuktikan.
Apa yang bisa kita lakukan menghadapi keadaan ini?
Kita harus memodernisasi industri kita. Namun, pemerintah tidak bisa langsung memaksa pengusaha untuk mengganti mesin karena modalnya besar, sementara jaminan investasi dari pemerintah tidak ada. Jika tidak ada regulasi yang menjamin investasi, dunia usaha akan menunggu. Persoalannya, regulasi kita cepat sekali berubah, dan ini persoalan besar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan harus sejalan. Ketika industri meningkatkan produksi, di sisi lain Kementerian Perdagangan membuka keran impor. Produk dalam negeri akhirnya kalah. Industri kita kalah dengan China bukan karena kita tidak mampu atau teknologinya tidak bersaing, tetapi karena keterlibatan pemerintah yang tidak maksimal.
Setiap tahun buruh kita mendesak kenaikan upah, sementara pengusaha bertahan. Apa jalan tengahnya dalam situasi seperti ini?
Secara umum, pengusaha ingin para buruh sejahtera. Jika ada pengusaha yang tidak ingin karyawannya sejahtera, itu oknum. Sebab, manajemen modern mengarahkan pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan agar perusahaan tetap sehat. Pemerintah melalui Kemnaker masih menentukan upah buruh melalui kompromi tripartit: pemerintah, pengusaha, dan buruh. Saat pertemuan itu, yang dibahas selalu soal kesejahteraan karyawan, sementara soal produktivitas terlupakan. Produktivitas karyawan Indonesia itu berada di posisi paling bawah di Asia Tenggara. Dalam keadaan ini, pemerintah harus adil agar kepentingan semua terakomodir.
Pemerintah harus memiliki peta jalan (road map) selama 5 tahun agar dunia usaha bisa berjalan dengan baik. Ini harus disepakati oleh pengusaha dan buruh. Jadi, tidak ada perdebatan setiap tahun. Jika ini disepakati, sektor usaha bisa berjalan lancar karena tidak ada gejolak.
Tekstil impor yang masuk ada dua jenis: yang baru dengan harga murah, dan yang kedua barang bekas atau thrifting. Bagaimana pendapat Anda tentang kedua hal ini?
Thrifting ini, menurut saya, adalah kecelakaan. Hanya negara kelas bawah yang mengimpor baju bekas dan mengizinkan rakyatnya menggunakannya. Indonesia masuk dalam kategori ini. Ini terjadi karena pemerintah membuka keran impor baju bekas. Ketika ada pembiaran oleh pemerintah, thrifting seolah-olah menjadi budaya baru bagi sekelompok orang. Akhirnya, hal ini dibiarkan, padahal seharusnya ini memalukan.
Bukankah ada larangan impor barang bekas termasuk baju dalam Permendag Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor?
Itulah yang ingin kita garisbawahi. Aturannya ada, tetapi penegakannya tidak ada. Buktinya, barang thrifting masuk dengan mudah. Ada penyelundup, lalu oknum bea cukai, dan penegak hukum ke mana? Mengapa larangan impor itu dibiarkan? Artinya, pemerintah melakukan pembiaran meskipun sudah ada aturan yang melarangnya. Obatnya tidak lain adalah penegakan hukum.
Untuk barang-barang baru, ada yang masuk secara legal dan ada juga yang secara ilegal. Lagi-lagi, obatnya adalah penegakan hukum. Antara regulasi dan penegakannya harus paralel sehingga tujuan dibuatnya regulasi dapat tercapai.
BACA JUGA:
Jadi, negara belum sungguh-sungguh melindungi industri tekstil dalam negeri?
Saya lihat negara masih setengah hati melindungi pelaku industri dalam negeri. Upaya ada, tapi realisasinya tidak maksimal. Akhirnya, hasilnya juga tidak bagus. Kita yang di dunia industri jadi setengah mati. Importir ilegal, rokok ilegal, elektronik ilegal, garmen ilegal tidak ditindak. Pencegahan terhadap importir ilegal ada, tapi hanya seremoni. Tidak ada importir ilegal yang dihukum.
Apakah UMKM juga terdampak persoalan tekstil ini?
Ya, dulu UMKM merajai pasar Tanah Abang dan pasar-pasar lainnya dengan produk hijab, gamis, baju, dan lain-lain. Sekarang, toko mereka diisi oleh produk impor. Produk lokal sudah ketinggalan. Apakah aparat tahu banyaknya produk impor ini? Saya yakin tahu. Tapi, lagi-lagi ada pembiaran. Ini yang membuat UMKM kita terpuruk. Lihat saja di sentra UMKM tekstil di Majalaya, Tasikmalaya, dan lain-lain. Pekerjanya beralih profesi, bekerja di sektor lain seperti servis motor, ojek online, dan sebagainya.
Pemerintah mengatakan serapan tenaga kerja tinggi, dari mana datanya?
Pemerintah menggunakan data dari ILO (International Labour Organization), di mana definisi tenaga kerja itu adalah mereka yang bekerja minimal satu jam per pekan. Data ini yang dipakai pemerintah. Padahal, dalam sepekan kalau hanya bekerja satu jam, sisanya ngapain? Nganggur, kan. Jadi, kita tidak tepat menggunakan data seperti ini.
Di tengah keadaan ini, apakah teman-teman industri tekstil masih peduli pada pelestarian lingkungan?
Untuk kategori industri besar, mereka peduli. Mereka sudah memiliki sarana pengolahan limbah cair. Mayoritas anggota API sudah masuk dalam kategori green. Soalnya, kalau tidak punya fasilitas itu, mereka tidak bisa menjual produk ke Eropa. Tapi untuk UMKM, saya tidak punya datanya. Namun, skala mereka juga tidak besar.
Bagaimana prospek tekstil ramah lingkungan, apakah bisa jadi tren ke depan?
Teknik ecoprint memang sudah berkembang dengan menggunakan pewarnaan alami, seperti daun, dahan, dan lain-lain. Hanya saja, problemnya adalah tidak bisa produksi massal dan tidak bisa bersaing dengan industri tekstil berbasis kimia. Ini sebenarnya peluang, karena negara maju tidak bisa melakukannya, sehingga ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk memaksimalkan potensi ini. Insan kreatif harus bisa menangkap pasar yang ada. Perbandingannya seperti batik tulis dan batik printing, jelas lebih mahal batik tulis karena proses dan pengerjaannya berbeda.
Apa harapan teman-teman API pada pemerintahan Prabowo?
Selama ini, orang melihat latar belakang beliau militer, sehingga industri militer lebih mendapat perhatian. Ke depan, industri padat karya dan industri kreatif semoga bisa mendapat perhatian. Keduanya bisa berjalan beriringan, karena industri ini bisa mengatasi problem ketenagakerjaan dan bonus demografi. Apalagi level pendidikan tenaga kerja kita masih didominasi lulusan SMP ke bawah. Tenaga kerja ini hanya bisa diserap oleh industri padat karya dan industri kreatif. Jangan hanya memberi perhatian pada industri padat modal. Ingat, PHK di berbagai sektor menjadi momok di mana-mana. Ambruknya industri padat karya kita belakangan ini bukan hanya kesalahan pengusaha. Kami ingin pemerintah belajar dari hal ini agar ke depan bisa lebih baik.
Kami juga meminta pemerintah memperhatikan sektor ketahanan pangan, karena ini juga bisa banyak menyerap tenaga kerja. Dalam indeks ketahanan pangan, kita ada di posisi 69 dari 122 negara. Dua tahun terakhir, tingkat PHK di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Ini tantangan bagi Pak Prabowo untuk membuktikan janji kampanyenya. Fokus pada tiga industri penting, meskipun yang lain tidak boleh ditinggalkan, yaitu: industri padat karya, industri kreatif, dan industri ketahanan pangan. Ini adalah harkat dan martabat bangsa kita.
Kompromi Kuliner Ala Danang Girindrawardana
Dalam urusan kuliner, Danang Girindrawardana amat bertolak belakang dengan istrinya. Dia suka makanan alakadarnya, sedangkan sang istri suka yang kaya rasa dan cenderung eksperimental dalam kuliner. Kedua anaknya mengikuti selera sang bunda dalam urusan makanan. Jadilah ia minoritas dalam urusan makanan di rumah.
Menurut Danang, dia termasuk konservatif dalam urusan kuliner. “Saya tidak terlalu antusias dengan masakan yang kaya bumbu dan kaya rasa,” kata penyuka sate ayam dan gurameh goreng ini.
Untuk masakan yang pedas dan full taste, dia bukan tidak bisa, namun kurang bisa menikmatinya. “Saya tidak terlalu suka dengan makanan yang pedas dan banyak bumbu. Buat saya, makanan itu alami dan apa adanya saja. Kalau pun ada bumbu, jangan terlalu banyak,” terang mantan Ketua Ombudsman RI ini.
Bagi Danang, bumbu itu ala kadarnya saja agar otentisitas makanan tidak hilang. “Cukup kecap dan garam sedikit. Saya tidak suka saus sambal atau saus tomat. Pun yang banyak disukai anak zaman sekarang seperti mayones,” tambahnya.
Karena minimalis dalam hal bumbu, Danang cocok dengan hidangan roti tawar ditambah mentega, sudah cukup, telur cukup direbus. “Ini yang sering dikomplain istri saya, dia suka makanan yang kaya rasa. Dan dia sangat eksperimental dalam urusan makanan, sementara saya sebaliknya. Anak-anak saya mengikuti gaya mamanya dalam urusan makanan,” ungkap mantan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Jalan tengah yang diambil adalah membuat dua hidangan yang berbeda. Yang satu makanan dengan bumbu minimalis dan satu bagian lagi yang kaya rasa. “Ya, sudah selera kami memang berbeda. Saya tidak bisa menikmati apa yang disukai istri dan anak-anak. Jadi ada dua menu di rumah,” kata Danang, yang sudah mengurangi asupan gula dan menambah asupan sayuran.
Olahraga di Rumah Saja
Di luar kesibukan sebagai seorang profesional dan mengurus organisasi, Danang Girindrawardana memiliki hobi menggambar. “Saya suka dengan dunia seni. Saya suka dengan interior, menggambar manual atau dengan komputer,” kata alumni Fakultas Sosial Politik UGM Yogyakarta (S1) dan STIA LAN Jakarta (S2).
Sedangkan upaya yang dia lakukan untuk menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. “Saya memilih olahraga ringan yang bisa dilakukan di rumah saja, tidak perlu sampai harus ke tempat gym. Cukup push-up yang rutin, angkat beban sedikit, dan juga berenang karena kebetulan di rumah ada kolam renang,” kata Danang, yang tidak tertarik dengan olahraga tren seperti bersepeda atau yang banyak dilakukan seperti lari.
Bicara soal berenang, dia mengakui kalah dengan istrinya. “Terus terang, soal berenang, istri saya lebih sering, saya sesekali saja. Kadang itu pun lebih banyak mengobrol atau menyantap makanan ringan di tepi kolam, hehehe,” akunya, Danang yang berenang bersama anak dan istri.
Waktu untuk Keluarga
Meski sibuk dengan beragam aktivitas, Danang tak pernah kurang perhatiannya untuk keluarga. “Sebisa mungkin menyempatkan waktu untuk keluarga seperti di akhir pekan. Saya sekarang masih sedih, anak sulung saya baru saja berangkat ke Utrecht, Belanda, melanjutkan studinya,” katanya.
Sementara si bungsu juga sudah berpisah tempat tinggal, kos di dekat kampusnya; Universitas Indonesia. “Dia juga baru mulai perkuliahan di UI, tinggalnya kos tak jauh dari kampusnya. Jadilah kami berdua saja di rumah, ditemani ART dan sopir,” lanjut Danang, yang berdomisili di kawasan Cibubur.
Meski terpisah dari anak-anak, Danang memanfaatkan teknologi komunikasi yang kian canggih sekarang. “Jarak boleh jauh tapi komunikasi tetap dilakukan dengan telepon atau panggilan video. Bisa juga zoom meeting bersama anak-anak,” ungkapnya.
Kepada anak muda, ia berpesan untuk belajar juga pada hal yang tidak diajarkan di kampus. “Ada banyak hal yang tidak diajarkan di kampus. Ini juga harus dipelajari secara otodidak, seperti bagaimana mengelola keuangan. Soalnya, anak-anak Indonesia cenderung nyaman hidup dari subsidi orang tuanya. Ini berbeda dengan di luar negeri, di mana mereka sudah mandiri sejak lepas SMA. Orientasi juga harus diubah, setelah lulus bukan kerja di mana, tapi mengerjakan apa atau wirausaha apa,” katanya.
Karena itu, lanjut Danang Girindrawardana, anak-anak sebelum mereka mandiri harus dibekali dengan pengetahuan yang memadai supaya mereka siap berdikari, tidak tergantung selamanya pada subsidi orang tua. “Riset yang kami lakukan menunjukkan 95% lulusan SMU atau S1 itu maunya kerja, bukan menciptakan lapangan kerja. Pola pikir seperti ini harus kita ubah, mulai dari sekarang,” tegasnya.
"Thrifting ini menurut saya kecelakaan. Hanya negara kelas bawahlah yang mengimpor baju bekas dan mengizinkan rakyatnya menggunakan. Indonesia masuk dalam kategori ini. Ini terjadi karena pemerintah membuka keran impor baju bekas. Saat terjadi pembiaran oleh perintah, thrifting seolah-olah jadi budaya baru untuk sekelompok orang. Akhirnya terbiarkan, mustinya ini memalukan,"