JAKARTA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI belum sepenuhnya pulih.
Meskipun indeks kepercayaan industri (IKI) menunjukkan tren ekspansif pada September 2024 dengan angka di atas level 50, kenyataannya sektor TPT masih terkontraksi saat ini.
Tak hanya itu, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor TPT pun terus berlanjut sampai sekarang.
Berdasarkan catatan VOI, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan, jumlah karyawan yang terkena PHK selama tiga tahun terakhir hampir mencapai 200.000, dan hanya dalam satu bulan terakhir hampir 30.000 orang diberhentikan.
Merespons hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Eko Cahyanto mengatakan, industri TPT merupakan salah satu subsektor yang sangat sensitif. Terlebih sejak diberlakukannya Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
"Jumlah tenaga kerja di sektor industri, kan, besar sekali dan sektor-sektor ini sangat sensitif terkait dengan daya beli atau pasar global," ujar Eko saat ditemui wartawan usai agenda Penguatan Industri Melalui Optimalisasi Teknologi di Jakarta, Selasa, 1 Oktober.
Eko mengeklaim, saat ini kondisi pasar global juga sedang tidak baik-baik saja.
Karena itu, kata dia, daya beli masyarakat bukan menjadi faktor utama maraknya PHK di industri TPT.
"Kalau kondisi pasarnya pasti akan berpengaruh karena sektor padat karya itu biasanya sangat sensitif. Dengan situasi itu, jadi bukan permasalahan daya beli masyarakat, tapi global. Ya, ada sektor-sektor yang sensitif terhadap situasi itu," katanya.
BACA JUGA:
Saat ditanyai lebih lanjut soal kondisi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur RI bisa ekspansif atau tidak hingga akhir tahun ini, Eko belum bisa memberikan informasi lebih lanjut.
"Kami lihat beberapa minggu ke depan," imbuhnya.