Eksklusif, Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie Paparkan Kesenjangan PTN dan PTS
Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie mengungkap beragam problem yang dihadapi PTS. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Bagikan:

Membahas Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sejatinya tak sebanding. Soalnya menurut  Ketua Dewan Pembina APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia) Dr. H. Marzuki Alie, SE, MM, terlalu banyak fasilitas yang  diberikan untuk PTN oleh pemerintah, sementara PTS hanya sedikit saja. Karena itu kata dia, pemerintah kalau tak bisa memberikan bantuan yang maksimal, harusnya bisa menciptakan iklim yang kondusif sehingga PTS bisa tumbuh dan berkembang. 

***

Berdasarkan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, posisi PTN dan PTS itu sejajar. “Dalam Undang-Undang sudah ditetapkan bahwa tidak ada perbedaan antara PTN dan PTS, kecuali akreditasi yang menjadi penanda. Dahulu akreditasi menggunakan tingkatan A, B, dan C, sekarang diganti dengan Baik, Baik Sekali, Unggul, atau Tidak Terakreditasi,” kata Marzuki Alie.

Namun kesan kalau pemerintah lebih memerhatikan PTN memang sulit untuk disangkal. Setidaknya kata Marzuki ada beberapa indikator yang membedakan lembaga pendidikan tinggi yang dikelola pemerintah dan yang di kelola swasta. Dari sisi fasilitas, infrastruktur, dosen dan penerimaan mahasiswa. Dalam sudut pandang lain perbedaan keduanya menciptakan kesenjangan yang jauh.  Di satu sisi PTN memiliki kelengkapan fasilitas, dosen cukup dan input mahasiswa yang terpilih. Sedangkan PTS, hanya sebagian yang memiliki fasilitas bagus dan jumlah dosen yang cukup. Sedangkan inputnya sisa, yang tak lolos di PTN baru masuk ke PTS.

Yang paling disoroti Marzuki Alie adalah cara rekrutmen mahasiswa baru PTN yang menurutnya terlalu berlebihan. Ada tiga jalur masuk, yaitu jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) dan jalur Seleksi Mandiri. Untuk SNBP dan SNBT dipersiapkan oleh Tim SNPMB, sementara jalur Seleksi Mandiri dikelola sepenuhnya oleh PTN masing-masing.

Dengan model seperti ini daya tampung PTN makin besar, sedangkan PTS makin menurun. Data yang diungkapkan Marzuki penurunan minat masuk PTS berkisar antara 25 sampai 50 persen dalam setahun belakangan. Jalur mandiri diatur oleh PTN masing-masing ada komponen yang paling membedakan dengan jalur SNBP dan SNBT, yaitu  sumbangan dalam jumlah tertentu, setiap prodi berbeda besarannya. Model penerimaan jalur mandiri ini sedikit banyak mirip dengan seleksi masuk PTS. Kalau bisa masuk PTN lewat jalur mandiri, kenapa harus masuk PTS dengan biaya yang sama dan terkadang lebih mahal. Sementara untuk fasilitas tentu PTN sudah terukur.

Karena  itulah Marzuki Alie menyerukan soal penerimaan mahasiswa baru PTN tak perlu terlalu berlebihan agar PTS bisa dapat mahasiswa dengan jumlah dan kualitas yang bagus juga. “Menurut saya, pemerintah tidak perlu memberikan bantuan pada PTS selama PTN tidak bersaing keras dalam menarik calon mahasiswa baru. Sama halnya dengan Universitas Terbuka, sebaiknya diarahkan kembali pada tujuan awal pendiriannya. Kami siap untuk mendidik mahasiswa menjadi lebih baik, asalkan diberi kesempatan,” katanya kepada Edy Suherli, Ronald Tanamas dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di kawasan Halim, Jakarta Timur, belum lama berselang. Inilah petikannya.

Menurut Ketua Dewan Pengawas APTISI Marzuki Alie, selama ini terdapat kesenjangan antara PTN dan PTS. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Menurut Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie, selama ini terdapat kesenjangan antara PTN dan PTS. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Bagaimana keadaan PTS sekarang di tengah persaingan dan terobosan yang dilakukan PTN yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah?

Pendidikan tinggi itu merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar dan menengah. Jika kualitas siswa yang masuk perguruan tinggi sudah tidak bagus, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Saat ini, jumlah perguruan tinggi hampir mencapai 4.400-an, dengan sekitar 300 adalah PTN dan sisanya PTS. Tanpa PTS, PTN tidak akan mampu mendidik siswa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Masalahnya adalah pada masa lampau, pendirian PTS terlalu mudah dilakukan tanpa mempertimbangkan kelayakan. Akibatnya, manajemen PTS ada yang bagus, ada yang sedang, dan ada yang di bawah standar. Pemerintah harus menyelesaikan persoalan ini, tapi bagaimana caranya? Ini yang menjadi pekerjaan rumah.

Pemerintah harus meningkatkan kualitas perguruan tinggi, bukan hanya dengan memberikan akreditasi. Kualitas dosen harus diperhatikan. Tidak mudah bagi PTS di luar kota besar untuk mendapatkan dosen yang berkualitas. Ini adalah hal yang seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah. Selain itu, kesenjangan infrastruktur juga perlu diatasi. Beberapa PTS mungkin bisa memberikan fasilitas yang memadai, tetapi banyak juga yang hanya memiliki fasilitas standar bahkah minimal. Perbandingannya jauh jika dibandingkan dengan PTN yang mendapatkan pendanaan dari negara.

Soal penerimaan mahasiswa baru, bagaimana pandangan Anda?

PTS memang menghadapi kesulitan dalam mendapatkan mahasiswa. Mayoritas calon mahasiswa lebih memilih PTN sebagai pilihan utama, meskipun Undang-Undang sudah menetapkan bahwa tidak ada perbedaan antara PTN dan PTS, kecuali akreditasi yang menjadi penanda. Dahulu akreditasi menggunakan tingkatan A, B, dan C, sekarang diganti dengan Baik, Baik Sekali, Unggul, atau Tidak Terakreditasi. Namun akreditasi tidak selalu menjamin kualitas, yang paling penting adalah dedikasi mahasiswa itu sendiri. Ada mahasiswa yang kuliah di PTS biasa namun mampu berprestasi dan kompeten. Sebagai contoh, ada alumni dari UIGM (Universitas Indo Global Mandiri) Palembang yang berasal dari prodi dengan akreditasi C namun berhasil lolos seleksi di Bank Indonesia dan memiliki karier yang baik.

Ada upaya merger beberapa PTS untuk meningkatkan kualitas, tetapi di pihak lain, PTS yang berada di bawah naungan Departemen Agama justru membuka program baru yang di luar fokus mereka, yaitu Pendidikan Agama. Saat ini, UIN (Universitas Islam Negeri dulu IAIN) memiliki beragam program studi seperti halnya PTN. Ini adalah kebijakan yang tidak konsisten. Perlu ada pembicaraan bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

Apa lagi masalah yang dihadapi?

Alokasi anggaran untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  hanya sekitar 13 persen. Sisanya disebar ke berbagai tempat. Akibatnya, peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi tidak begitu kuat, yang berdampak pada penurunan pemberian beasiswa. Padahal, alokasi dana untuk fungsi pendidikan meningkat. Di samping itu, kementerian lain juga menciptakan sekolah tinggi atau sekolah kedinasan. Sebenarnya, jika suatu program studi seperti akuntansi sudah ada di PTN, tidak perlu lagi ada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Hal ini menciptakan kesan bahwa alumni STAN memiliki keistimewaan di Departemen Keuangan. Hal yang serupa juga terjadi di kementerian lain yang juga punya sekolah.

Menurut saya, anggaran yang digunakan untuk pendidikan kedinasan tidak seharusnya dicampurkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas siswa yang ingin melanjutkan pendidikan. Dengan dana yang semakin terbatas, Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa masuk PT juga semakin menurun. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa APK hanya sekitar 32 persen, artinya 68 persen siswa tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan situasi ini.

Saya sering mention persoalan ini kepada Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di medsos. Tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa dana pendidikan sudah mencapai 20 persen dari APBN, yaitu sekitar Rp300 triliun. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa kualitas pendidikan tidak meningkat, terutama jika dana tersebut digunakan untuk sekolah kedinasan. Ini bertentangan dengan amanat konstitusi.

Kampus, kata Ketua Dewan Pengawas APTISI Marzuki Alie, tidak menentukan keberhasilan mahasiswa, yang menentukan adalah mahasiswa itu sendiri. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Kampus, kata Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie, tidak menentukan keberhasilan mahasiswa, yang menentukan adalah mahasiswa itu sendiri. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

PTN kini berlomba menarik calon mahasiswa baru melalui berbagai jalur, termasuk Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), dan seleksi mandiri. Jalur mandiri ini ternyata banyak diminati. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?

Sebenarnya, kondisi seperti ini telah berlangsung lama di PTN, bahkan di PTN yang berada di bawah Kementerian Agama. Tujuan utamanya adalah untuk menarik sebanyak-banyaknya calon mahasiswa. Politeknik yang dikelola oleh Kementerian juga memiliki pendekatan yang serupa. Akibatnya, sisanya baru masuk PTS. Kalau PTS dapat menghasilkan alumni yang hebat, artinya PTS itu luar biasa hebatnya. Kalau PTN dapat menghasilkan alumni hebat, itu sebagai hal biasa, karena input yang masuk sudah berkualitas dan terpilih, fasilitas yang dimiliki PTN juga lengkap.

Berapa besar penurunan persentase masuk PTS dengan adanya jalur mandiri?

Semakin banyak orang miskin, semakin sedikit kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kebijakan PTN untuk menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa batas mengurangi minat masuk ke PTS. Berdasarkan data yang saya terima, terjadi penurunan sekitar 25 hingga 50 persen dalam masuknya mahasiswa ke PTS. Situasi ini semakin diperparah oleh Universitas Terbuka yang juga berlomba-lomba dalam menarik mahasiswa, bahkan dari luar kota besar. Saya telah memberikan masukan kepada Pak Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi: Prof. Ir. Nizam, MSc, DIC, PhD, namun belum ada tindakan konkret yang diambil.

Apakah kualitas lulusan perguruan tinggi kita sudah dapat terserap sepenuhnya oleh dunia usaha dan industri?

Saya melihat bahwa lulusan perguruan tinggi belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Lulusan baru seringkali harus mendapatkan pelatihan tambahan selama setahun penuh. Saat ini, dengan kebijakan Merdeka Belajar, mahasiswa diwajibkan untuk melakukan magang selama dua semester yang dapat diakui sebagai bagian dari SKS. Penting bagi pemerintah untuk memberikan dukungan dengan mewajibkan perusahaan untuk menerima mahasiswa magang. Jika perlu, biaya magang bisa dihitung sebagai potongan pajak.

Bagaimana pandangan Anda terhadap perkembangan teknologi yang pesat, terutama kehadiran Artificial Intelligence (AI) yang merambah berbagai bidang?

Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, bukan hanya slogan belaka. Namun, perubahan ini harus diimbangi dengan keberlanjutan. Saya sering memberi nasihat kepada mahasiswa bahwa ilmu yang mereka peroleh saat ini belum tentu relevan setelah mereka lulus. Pada dasarnya, di perguruan tinggi mereka diajarkan bagaimana berpikir. Hal yang paling penting adalah bagaimana mereka dapat mengembangkan logika berpikir yang cerdas dan rasional. Orang yang tidak dapat berpikir secara logis akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan, yang pada akhirnya dapat mengancam banyak jenis pekerjaan.

Namun, perlu dicatat bahwa bidang-bidang pekerjaan baru juga akan muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Perguruan tinggi harus mampu membaca tren ini. Saya sendiri selalu membuka program studi yang belum ada di kampus lain. Misalnya, saya membuka program studi Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) beberapa tahun lalu. Baru-baru ini, UGM juga membuka program yang serupa. Program studi yang sudah ada pun sebaiknya diperkaya dengan keterampilan lain agar lulusannya siap menghadapi perubahan yang mungkin terjadi dalam alih profesi.

Bagaimana Anda menyikapi perkembangan teknologi yang pesat ini?

Kolaborasi, baik di dalam maupun di luar kampus, merupakan hal yang penting. Kampus kami menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri. Kami juga mengundang para diaspora untuk memberikan pengajaran. Para pengajar ini berasal dari berbagai negara seperti Australia, Jepang, Belanda, Finlandia, Inggris, Amerika, dan lain-lain.

Perlukah pemerintah membantu PTS?

Menurut saya, pemerintah tidak perlu memberikan bantuan pada PTS selama PTN tidak bersaing dalam menarik calon mahasiswa baru. Sama halnya dengan Universitas Terbuka, sebaiknya diarahkan kembali pada tujuan awal pendiriannya. Kami siap untuk mendidik mahasiswa menjadi lebih baik, asalkan diberi kesempatan. Jika sebagian besar warga negara memiliki kesempatan untuk mengejar pendidikan tinggi, ini akan membuat masyarakat semakin cerdas. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka dapat memilih calon pemimpin melalui pemilihan umum dengan pertimbangan yang rasional. Saat ini, dalam kondisi sulit, pemilihan lebih sering dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi, sehingga praktik politik uang masih berlangsung. Orang yang memiliki uang lebih cenderung terpilih menjadi anggota dewan.

Idealnya, mahasiswa diarahkan untuk menjadi karyawan atau pengusaha?

Saya mendirikan sekolah dengan memperhatikan fakta bahwa kita kurang memiliki jiwa wirausaha dan kesulitan bersaing. Oleh karena itu, visi UIGM yang saya bangun adalah menciptakan alumni yang memiliki integritas dan profesionalitas, mampu menciptakan peluang kerja, dan mampu memanfaatkan peluang kerja yang ada. Jadi, orientasinya adalah profesional dan wirausaha. Pendekatan ini dapat menjawab tantangan yang ada.

Jad semua pihak harus siap menghadapi tantangan global di masa depan?

Tentu, mereka harus siap, karena tantangan di masa depan akan semakin besar. Ini juga berlaku dalam konteks yang lebih luas. Di kampus UIGM, saya telah mempersiapkan mahasiswa dan dosen kami dalam hal ini. Tujuannya adalah agar mereka dapat bersaing dengan PTS yang ada serta PTN. Hasilnya telah membuktikan bahwa ini memungkinkan.

Indonesia telah menandatangani AFTA (ASEAN Free Trade Area), tetapi persiapan dalam menghadapinya masih belum cukup. Bagaimana kita akan siap menghadapi AFTA jika persiapan tidak memadai? Jika terjadi masalah dengan masuknya tenaga kerja asing, siapa yang akan bertanggung jawab? Semua hal ini perlu dipersiapkan secara cermat, dan kemajuan harus terus dipantau. Tahun 2045 disebut sebagai akan mencapai Indonesia Emas, namun sejauh mana persiapan kita untuk mencapainya? Jika tidak ada upaya antisipasi dan persiapan, kita bisa saja terpinggirkan.

Dalam konteks yang lebih luas, hal-hal yang sudah baik yang telah dilakukan oleh pemimpin saat ini sebaiknya tetap diteruskan dengan perbaikan dan peningkatan. Tidak baik jika hal-hal yang sudah baik terhenti. Inilah alasan di balik perlunya suksesi periodik. Ini adalah faktor yang perlu dipertimbangkan oleh calon pemimpin kita di masa depan.

Ini Kiat Hidup Sehat Ala Marzuki Alie

Ketua Dewan Pengawas APTISI Marzuki Alie, membagi waktu dalam kehidupannya dalam tiga bagian; untuk bekerja, sosialisasi dan istirahat. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie, membagi waktu dalam kehidupannya dalam tiga bagian; untuk bekerja, sosialisasi dan istirahat. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Sehat adalah harta yang amat berharga. Dr. H. Marzuki Alie, SE, MM, politisi yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia) sadar benar akan hal itu. Karena itu meski kini usianya sudah 67 tahun, namun ia tetap terlihat fit dan bugar. Apa saja kiat yang dilakukan dalam menjalani hidup agar tetap sehat?

Pria kelahiran Palembang,  6 November 1955 punya prinsip hidup yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. “Sebagai khalifah di muka bumi, kita punya kewajiban untuk menjadi orang yang bermanfaat. Pesan Nabi sebaik-baiknya umatku adalah orang yang memberikan manfaat untuk orang banyak,” katanya.

Dalam menjalankan kehidupan, satu tips sederhana yang ia lakukan adalah berpikir positif. “Jadi apa pun posisi saya, saya tidak pernah menjadi pengangguran,” kata Marzuki yang terjun di pentas politik dan menapaki karier hingga menjadi Sekjen Partai Demokrat 205-2010 dan menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat masa bakti 2009-2014.

Marzuki membagi waktu menjadi tiga kategori dalam berkaktivitas, waktu untuk bekerja, waktu untuk sosialisasi dan waktu untuk istirahat. Ketiga waktu ini harus dibagi dengan baik dan digunakan dengan seoptimal mungkin. Pola pembagian waktu ini dia lakukan sejak dulu selepas menyelesaikan kuliah dari Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Palembang lalu mengabdi sebagai ASN dari berbagai posisi hingga ia pensiun dan masuk ke kancah politik.

“Waktu bersosialisasi adalah momen yang digunakan untuk pengabdian pada masyarakat. Sebagai hamba Allah kita harus memberikan manfaat untuk insan yang lain,” lanjutnya saat menjadi anggota DPR RI ia membuka pengaduan atas segala soal yang dihadapi masyarakat.

Jika ia bisa menyelesaikan akan diambil Tindakan lansung, namun jika sudah di luar kewenangannya dia akan limpahkan ke pada pihak atau instansi terkait yang berkompeten. “Setiap malam saya selalu mengecek pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia yang masuk ke nomor telepon saya,” kata Marzuki yang juga mensosialisasikan beragam produk UU yang dihasilkan oleh DPR RI.

Ia juga kerap menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan atau persoalan, termasuk kepada Presiden Jokowi. “Saya berkewajiban menyampailkan persoalan kepada orang yang berkomepten termasuk kepada Presien Jokowi, kebetulan dia punya akun resmi di media sosial.  Tugas saya menyampaikan persoalan yang masuk. Soal apakah aduan yang saya sampaikan ditanggapi atau ada solusinya itu urusan berikutnya. Karena kewajiban saya menyampaikan. Alhamdulillah tak banyak buzzer politik yang menyerang saya,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Komersial PT. Semen Baturaja (Persero) Palembang 1999 – 2006.

Kembali ke Dunia Pendidikan

Sempat aktif di Partai Demokrat dan menjadi anggota DPR RI, kini Marzuki Alie, kembali ke habitat sebelumnya di dunia pendidikan. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)
Sempat aktif di Partai Demokrat dan menjadi anggota DPR RI, kini Marzuki Alie, kembali ke habitat sebelumnya di dunia pendidikan. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Setelah tak lagi menjadi anggota DPR RI, Marzuki Alie Kembali ke habitat sebelumnya yang sempat ia lepaskan sejenak karena tugas sebagai anggota dewan. “Saya kembali ke kampus, habitat  saya sebelumnya. Saya mengurusi kampus UIGM di Palembang yang saya dirikannya pada tahun 1998,” ujarnya.

Yang melandasinya mendidirikan UIGM karena melihat lemahnya link and match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan industri. “Setelah mendirikan universitas, saya mendirikan SMA, lalu SMP, SD dan TK. Alhamdulillah dengan pengelolaan yang baik akreditasi sekolah yang saya dirikan itu semuanya unggul. Tahun  2023 ini 70 persen alumni SMA kami diterima di PTN,” ungkap Marzuki yang menjabat sebagai Rektor di UIGM.

Satu hal yang menjadi perhatian Marzuki adalah pendidikan karakter bagi siswa hingga mahasiswa yang mengenyam pendidikan di sekolahnya. “Saya tekankan kepada guru-guru dan dosen untuk mengajarkan pendidikan karakter. Karakter itu terbentuk karena kebiasaan.  Bagaimana misalnya menerapkan budaya antri, ini menanamkan pelajaran menghargai orang lain,” katanya.

Sikap dan perilaku murid pada guru juga termasuk dalam pendidikan karakter. “Anak didik harus diajarkan kalau mereka harus hormat pada guru, tidak boleh berkata kasar pada guru, pendidikan akhlak perilaku itu kita tanamkan benar,” katanya.

Semangat untuk terus maju dan berprestasi juga ditanamkan. “Ada juga akhlak kinerja, bagaimana mereka berprestasi. Untuk dapat berprestasi itu dari guru-guru juga harus memberikan ilmu yang cukup,” lanjutnya.

Menjaga Kesehatan

Olahraga  bagi Marzuki Alie, adalah kunci kesehatan yang tetap bugar di usianya kini. Selain itu  dalam urusan makan katanya jangan berlebihan, secukupnya saja. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Olahraga  bagi Marzuki Alie, adalah kunci kesehatan yang tetap bugar di usianya kini. Selain itu  dalam urusan makan katanya jangan berlebihan, secukupnya saja. (Foto: Irfan Medianto, DI: Raga VOI)

Salah satu kiat yang dilakoninya adalah menjalani hidup apa adanya. “Hidup itu memang wajib kita pikirkan, tapi kita jangan terbebani dengan pikiran itu. Bahwa semua orang ada masalah, itu pasti. Tapi kita jangan terbebani dengan masalah itu. Artinya kita jalani saja kehidupan itu,” katanya.

Lalu tips berikutnya adalah makan tidak boleh berlebihan. “Saya tidak pernah mengemil, kalau sudah waktunya makan saya makan,” kata pria yang masih tidak punya pantangan dalam hal makanan ini. “Kambing dan sea food saya masih makan, durian juga bisa. Tapi kuncinya jangan banyak, sedikit saja sudah cukup,” tambahnya.

Dalam hal istirahat dan tidur diakuinya dia memang tidak teratur. “Kadang saya tidurnya larut malam. Soalnya banyak aktivitas yang harus saya lakukan. Bukan begadang yang tak ada artinya,” kata Marzuki Alie yang kerap menyambangi pesantren yang satu lanjut ke pesantren lainnya.

Tips selanjutnya adalah olah raga rutin harus dilakukan. “Saya biasanya setiap pagi berjalan kaki. Saya bukannya tidak bisa berlari, bisa tapi harus sadar berapa usia sekarang. Jadi dalam berolahraga tidak boleh memaksakan diri,” saran Marzuki yang juga melakoni senam kesehatan untuk melumasi persendian agar tidak kaku.

Setiap orang pasti mengalami stres dengan bermacam keadaan. Kiat yang dilakukan Marzuki Alie saat stres dengan berzikir. “Saya dulu pernah dikriminalisasi sampai dilaporkan ke Kejaksaan Agung, saya stres  saat itu. Menghadapi keadaan itu saya banyak berzikir. Alhamdulillah saya bisa melewati semuanya, dan tuduhan yang diarahkan kepada saya tidak terbukti,” katanya menyudahi perbincangan.

"Dengan dana yang semakin terbatas, Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa masuk perguruan tinggi juga semakin menurun. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa APK hanya sekitar 32 persen, artinya 68 persen siswa tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan situasi ini,"

Marzuki Alie