Dosen Ditempatkan Ibarat Buruh, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Bali Desak Nadiem Makarim Setop Pembahasan RUU Sisdiknas
Mendikbudristek Nadiem Makarim/DOKUMENTASI ANTARA

Bagikan:

DENPASAR - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) Wilayah VIIIA Bali mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar membatalkan berbagai kebijakan yang mengebiri peran dan perkembangan perguruan tinggi swasta (PTS).

Ketua Aptisi Bali Dr Drs I Made Sukamerta, MPd mengatakan pihaknya juga meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Sistem Pendikan Nasional (Sisdiknas).

"Karena dalam RUU tersebut tidak menghargai profesi guru dan dosen, malah menempatkan guru dan dosen seperti buruh," kata Sukamerta yang juga Rektor Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar sebagaimana dilansir ANTARA, Sabtu, 23 September.

Pernyataan itu juga terkait rencana aksi besar-besaran dari Pengurus Pusat Aptisi dan Aptisi seluruh wilayah di Indonesia pada 27 September 2022.

Rencananya aksi yang didukung para mahasiswa tersebut untuk menyampaikan aspirasi Aptisi kepada DPR, presiden dan Mendisbudristek Nadiem Makarim.

Penyampaian aspirasi itu merupakan hasil Rembug Nasional dan Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke-1 APTISI di Bali pada 1 Juli 2022 lalu.

"Saat itu sudah diputuskan beberapa hal dan sudah dibawa ke DPR dan Presiden tetapi tidak mendapat respons. Akhirnya pengurus pusat mengkoordinir Aptisi seluruh wilayah untuk hadir di Jakarta menyampaikan aspirasi, dan sudah mendapat izin dari kepolisian," ujar Sukamerta.

Aksi demo Aptisi untuk menyampaikan aspirasi itu terkait beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai mengebiri perguruan tinggi swasta (PTS). Pertama, kehadiran Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM-PT) yang menggantikan peran Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi atau BAN-PT.

Seharusnya lembaga yang bertujuan meningkatkan mutu PTS, namun dalam pelaksanaannya sangat berorientasi bisnis. Sebab, biaya akreditasi yang dipatok LAM PT minimal Rp50 juta dan bisa mencapai Rp80 juta.

"Bagi PTS kecil, biaya ini sangat memberatkan. Karenanya tuntutan kami agar biaya akreditasi dibayar oleh APBN. Dulu, ketika masih ditangani BAN-PT tidak ada biaya akreditasi alias gratis, kenapa sekarang malah berbayar?" ujarnya.

Kedua, RUU Sisdiknas yang sedang digodok oleh DPR tidak menunjukkan penghargaan kepada profesi guru dan dosen, malah menempatkan guru dan dosen swasta dengan lembaganya (sekolah/PTS) dalam hubungan sebagai buruh dan majikan.

“Lebih menyakitkan lagi, tunjangan profesi guru dan dosen juga akan dihapus jika RUU Sisdiknas itu diloloskan menjadi UU. Kami menuntut RUU Sisdiksnas dihentikan," ujar Sukamerta.

Ketiga, pengurangan beasiswa KIP Kuliah PTS. Menurut Sukamerta, pengurangan kuota beasiswa KIP Kuliah sejak tahun 2021 hingga tahun 2022 ini sangat merugikan PTS.

Banyak mahasiswa miskin tak bisa dibantu karena kuota KIP Kuliah PTS dipangkas sekitar 50 persen. Dia mencontohkan, tahun lalu Unmas mendapat kuota 250 orang, tahun ini dipangkas sehingga hanya 110 orang.

"Ini kan tidak adil. Dalam situasi COVID-19 ini, kalau kuota KIP Kuliah seperti tahun lalu akan sangat membantu mahasiswa saya," katanya.

Keempat, Aptisi memprotes kebijakan Mendikbudristek tentang penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri berjilid-jilid di PTN. "Ini sangat tidak adil karena membiarkan PTN mengeruk mahasiswa baru sebanyak-banyaknya dan mematikan PTS," ujarnya.

Kelima, Aptisi mendesak agar dalam hal uji kompetensi diselenggarakan bersama oleh LAM dan PTS.

"Intinya, Aptisi Bali mendukung aksi massa secara damai yang dikoordinir oleh Aptisi Pusat dan dihadiri oleh teman-teman anggota Aptisi bersama BEM masing-masing dari seluruh wilayah Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Jokowi, DPR dan Pak Menteri," ujarnya.