Partager:

Hampir lima tahun telah berlalu sejak kasus suap Harun Masiku mencuat ke publik. Nama-nama besar disebut, bukti-bukti terungkap, namun perjalanan hukum berjalan lambat. Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan baru mengambil langkah berani dengan menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka. Keputusan ini mengejutkan, bukan hanya karena lamanya kasus ini mengendap, tetapi juga karena melibatkan tokoh sentral partai pemenang pemilu. Lalu, mengapa baru sekarang?

Kasus Harun Masiku telah menjadi simbol ketidakberesan dalam pemberantasan korupsi. Meski hampir lima tahun berlalu, Harun masih buron. Nama Hasto disebut memiliki peran signifikan, mulai dari dugaan perintah untuk menghilangkan barang bukti hingga sumber uang suap yang sebagian berasal darinya. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa penetapan Hasto sebagai tersangka memakan waktu hingga hampir lima tahun?

KPK di bawah kepemimpinan baru menyebut perlunya bukti kuat sebagai alasan utama lambatnya proses hukum. Namun, kritik terhadap efektivitas KPK di masa lalu tetap mengemuka. Banyak pihak mempertanyakan apakah ini murni soal pengumpulan bukti atau ada tekanan politik yang menghambat.

Penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka membawa tekanan besar bagi PDIP. Sebagai Sekjen partai, Hasto adalah sosok kunci dalam strategi politik partai tersebut. Meski Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sempat menyatakan akan datang ke KPK jika Hasto ditangkap, pada akhirnya tim hukum partai yang mewakili. Langkah ini mengundang perhatian, sekaligus spekulasi mengenai soliditas PDIP menghadapi isu ini.

Penetapan ini sangat mungkin juga memengaruhi persepsi publik terhadap PDIP. Apakah ini akan mengurangi dukungan masyarakat atau justru menunjukkan bahwa partai ini tidak kebal hukum?

Polemik lain yang muncul adalah apakah langkah KPK ini murni penegakan hukum atau ada politisasi di baliknya. KPK menegaskan independensinya, sementara beberapa pengamat politik, seperti Prof. Asrinaldi dari Universitas Andalas, mendukung klaim tersebut. Namun, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa kasus ini muncul di tengah dinamika politik nasional.

Kaitannya dengan mantan Presiden Joko Widodo juga menarik dicermati. Sebagai mantan kepala pemerintahan yang berulang kali menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, posisi Jokowi menjadi sensitif. Meski telah dinyatakan keluar dari PDIP, kasus ini tetap menciptakan spekulasi mengenai jarak atau kedekatan Jokowi dengan partai tersebut.

Hasto Kristiyanto sendiri menyebut adanya intimidasi dari sosok dengan ambisi tiga periode. Tuduhan ini menjadi bumbu yang menyulut kontroversi lebih jauh. Apakah ini hanya manuver politik atau ada kebenaran di baliknya? Sementara itu, keberadaan Harun Masiku yang masih buron menambah teka-teki. Bagaimana seorang buronan kelas kakap bisa menghilang di era digital ini? Apakah ada yang sengaja melindunginya?

Politikus PDIP, Mohamad Guntur Romli, bahkan mengungkapkan bahwa Hasto memiliki "kartu AS" para pejabat yang diduga korup. Pernyataan ini memunculkan spekulasi baru, apakah penetapan Hasto adalah langkah awal dalam membongkar kasus lebih besar?

Kasus ini menjadi ujian besar bagi KPK yang reputasinya sempat terpuruk. Tantangan terbesar adalah memastikan kasus ini ditangani hingga tuntas tanpa pandang bulu. Jika tidak, penetapan Hasto Kristiyanto hanya akan menjadi catatan kosong dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Lebih jauh, kasus ini juga mengingatkan bahwa korupsi adalah masalah sistemik yang memerlukan keberanian luar biasa untuk diatasi. Ini bukan hanya soal individu, tetapi juga tentang bagaimana sistem politik dan hukum bekerja. Apakah kita akan membiarkan drama ini berlalu begitu saja, atau menjadikannya pelajaran untuk mendorong perubahan?

Babak baru ini bisa menjadi awal reformasi besar jika semua pihak, dari KPK hingga masyarakat, memiliki keberanian untuk berdiri di sisi kebenaran. KPK harus benar-benar independen, tanpa pengaruh siapa pun. Korupsi adalah musuh bersama, dan pertanyaannya kini: seberapa serius kita ingin mengalahkannya?


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)