Partager:

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 8 November 2016, Donald John Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45. Terpilihnya Trump tak melulu disambut dengan gegap gempita, banyak juga yang menganggap kemenangannya kontroversi.

Sebelumnya, Trump dikenal sebagai pebisnis sukses. Ia jadi perwujudan sempurna dari impian Amerika. Barang siapa yang bekerja keras, maka ia akan meraih kesuksesan di Negeri Paman Sam. Trump pun tertantang untuk masuk ke dunia politik.

Perjalanan karier Trump sebagai pebisnis tak mulus-mulus amat. Ayahnya, Fred Trump tak lantas memberikan kepercayaan kepada Trump untuk menjalankan bisnis propertinya. Narasi itu membuat Trump yang baru lulus kuliah harus berusaha keras.

Ayahnya tak memberikan Trump jabatan mentereng. Alias Trump harus memulainya dari bawah. Trump bak tertantang. Ia dengan cepat membaca peta bisnis properti di AS. Saban hari Trump mencoba menunjukkan kapasitasnya. Hasilnya gemilang. Perusahaan ayahnya untung bejibun.

Insting bisnis Trump tiada dua. Trump berani mengubah arah bisnis keluarga dari melanggengkan bisnis hunian di Queens dan Brooklyn, jadi proyek bisnis lebih besar di Manhattan. Nama Trump kemudian menanjak sebagai pebisnis sukses AS.

Donald Trump ketika disumpah sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 di Gedung Capitol, Washington DC pada 20 Januari 2017 didampingi istrinya, Melania. (Wikimedia Commons) 

Bisnis Trump dibidang properti terus berkembang pesat. Propertinya di mana-mana. Beberapa yang paling terkenal adalah Trump Tower setinggi 68 lantai di Fifth Avenue, Trump Place, Trump World Tower, serta Trump International Hotel.

Selain di Fifth Avenue, Trump Tower juga dibangun di banyak kota besar dunia, seperti Mumbai, Istanbul, dan Manila. Belum lagi, kala Trump mulai menggarap bisnis hiburan. Ia mampu meraih kesuksesan.

Kesuksesan itu tak lantas membuat Trump berpuas diri. Ia merasa kariernya ada yang kurang. Ia ingin menjajal dunia baru: politik. Ia pun memulai kariernya sebagai politikus sejak 1987. Namun, langkah itu tak berlangsung mulus.

Dewi Fortuna mendatanginya pada saat Pilpres AS 2016. Ia diunggulkan melaju sebagai Capres dari Partai Republik. Siasat yang dimainkan Trump terlihat lebih siap. Ia mampu membungkus pandangan konservatif dan meramunya jadi siasat.

“Tapi pada saat yang sama, bayang-bayang kemarahan dan kebencian masa lalu muncul kembali. Penyakit lama kambuh mencari antagonisme baru. Rasisme Putih yang menampik dan mencurigai orang Hitam, Kuning, Cokelat lahir dari sedimentasi purbasangka abad lalu ketika kata ‘Negro’ berarti penghinaan.”

Donald Trump mengumumkan bahwa dia akan sekali lagi mencalonkan diri sebagai Presiden AS dalam pemilihan Presiden AS 2024 di Mar-a-Lago miliknya di Palm Beach, Florida, AS (15/11/2022). (Antara/Reuters/Jonathan Ernst/aww)

“Semangat feminis yang menegaskan hak perempuan untuk mengelola fungsi keibuan kaum wanita termasuk dalam memilih untuk tak melahirkan dicurigai sebagai penyebab susutnya penduduk kulit putih dan guncangnya nilai-nilai keluarga yang dianggap jadi benteng Mayoritas. Demikian juga homoseksualitas dimusuhi dengan doktrin-doktrin agama yang cemas dari abad ke abad,” terang sastrawan Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Trump (2016).

Siasat kampanye itu membuat nama Trump melejit. Partai Republik kemudian kepincut menjadikannya sebagai Capres AS. Ia dianggap sebagai lawan kuat Capres dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Kala Clinton memamerkan kecerdasannya, Trump terus menggangaungkan narasi Make America Great Again.

Hasilnya gemilang. Trump mampu unggul atas Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016. Kemenangan itu membuat rakyat AS menghendaki Donald Trump sebagai Presiden AS yang baru. Alhasil, Trump terpilih sebagai Presiden AS yang ke-45 pada 8 November 2016. Trump pun baru dilantik pada Januari 2017.

“Trump melewati semua itu, merebut nominasi Partai Republik, dan menang, karena pada akhirnya, dia terhubung dengan jenis pemilih tertentu yang percaya bahwa mengetahui hal-hal seperti pencegah nuklir Amerika hanyalah omong kosong bodoh.”

“Lebih buruk lagi, pemilih bukan hanya tidak mau tahu apakah Trump salah atau tidak peduli; mereka bahkan tidak mampu melihat kesalahan atau ketidakpedulian Trump. Psikolog David Dunning-yang bersama Justin Kruger menemukan Efek Dunning-Kruger, yaitu orang-orang yang tidak tahu atau tidak kompeten cenderung tidak menyadari kekurangan pengetahuan atau ketidakmampuan mereka sendiri percaya bahwa dinamika yang ia dan rekannya gambarkan terjadi di antara para pemilih. Dunning bahkan menduga dinamika itu penting untuk memahami keanehan pemilihan 2016,” terang Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2022).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)