Tren Bisnis Pakaian Bekas Impor, Antara Sustainable Living dan Ancaman terhadap Lingkungan
JAKARTA - Tampil modis adalah impian semua orang. Namun, untuk tampil stylish, biasanya butuh modal yang tak sedikit. Tapi jangan khawatir, anggaran untuk tampil modis bisa ditekan dengan memanfaatkan tren thrifting atau berburu pakaian bekas.
Berburu pakaian bekas sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi aktivitas ini mengalami peningkatan sekitar satu tahun ke belakang, utamanya sejak para selebgram ramai-ramai belanja pakaian branded bekas.
Meski butuh usaha lebih keras, kegiatan thrifting ini ternyata banyak penggemarnya, terutama anak muda. Dengan belanja pakaian bekas bermerek, mereka bisa tampil gaya tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Seiring waktu, baju bekas pun kini naik kelas karena banyaknya peminat.
Berbelanja baju bekas juga dinilai sebagai salah satu jalan menuju sustainable fashion atau mode berkelanjutan dalam industri fesyen yang tujuannya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial.
Tapi, benarkan tren thrifting membantu menyelamatkan lingkungan? Atau justru sebaliknya, menambah tumpukan sampah kain dari pakaian bekas yang diimpor dari luar negeri.
Beli Baju Bekas Perpanjang Usia Pakai
Tingginya peminat pakaian bekas di Tanah Air menjadikan thrifting sebagai bisnis besar di dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor pakaian bekas (kode HS 6309) sebanyak 26,2 ton sepanjang tahun 2022. Jumlah itu naik lebih dari 230% dari tahun sebelumnya, yang hanya sebanyak 7,9 ton. Jepang menjadi negara yang paling banyak mengimpor pakaian bekas ke Indonesia, totalnya mencapai 12 ton.
Baju second-hand impor memiliki minat yang cukup tinggi, terutama di kalangan anak muda. Alasannya karena mereka bisa mendapat pakaian bermerek luar negeri yang masih layak pakai dengan harga miring.
Memakai barang bekas termasuk salah satu cara menjalankan konsep sustainable fashion, yaitu konsep cinta pada lingkungan yang diwujudkan tidak hanya dalam kegiatan praktik hidup berkelanjutan, tapi juga berpakaian. Salah satu ciri sustainable fashion adalah memperpanjang memperpanjang usia pakai barang, dalam hal ini pakaian. Dengan berbelanja baju bekas, diharapkan dapat mengurangi limbah kain yang dapat berdampak buruk pada lingkungan dan proses pakaian itu sendiri.
Selain membantu mengurangi limbah tekstil, tren thrifting juga dapat mengurangi emisi karbon, menghemat uang, dan meningkatkan kreativitas. Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), industri mode menggunakan 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya. Selain itu, sekitar 20% air limbah industri di seluruh dunia berasal dari pencelupan dan pengolahan kain. Masih dari data yang sama, industri fesyen disebut bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan dan diprediksi emisi tersebut akan melonjak lebih dari 50% pada tahun 2030.
“Munculnya thrift shop diyakini sebagai solusi untuk mengatasi limbah pakaian serta mempromosikan sustainable living yang membawa dampak positif bagi lingkungan,” demikian dikutip jabarprov.go.id.
Belanja baju bekas yang dulunya identik dengan kelas bawah, sekarang ini justru tidak demikian. Tidak jarang para selebritas Tanah Air juga ikut tren thrifting, seperti yang dilakukan Andien Aisyah, Adinda Thomas, dan Hannah Al Rasyid.
Tapi, meningkatnya minat terhadap pakaian bekas memiliki beberapa dampak negatif. Jika sebelumnya thrifting identik dengan golongan tidak mampu, sekarang ini justru hampir semua kelas sosial ikut tren mencari pakaian second. Meningkatnya tren thrifting membuat harga pakaian bekas ikut meroket.
Menurut Ronobir (2020) dalam penelitiannya The Socioeconomic Causes and Effects of the Gentrified Thrifting Experience “Meningkatnya permintaan oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas mengakibatkan banyak toko barang bekas menaikkan harga sehingga memperburuk ketimpangan pendapatan dan secara efektif meminggirkan penduduk yang paling bergantung pada pakaian bekas.”
Bisnis Thrifting Impor Menambah Tumpukan Sampah Kain
Seperti fenomena lainnya, tren belanja baju bekas impor juga menciptakan masalah baru. Harga pakaian second-hand yang murah justru mendorong masyarakat untuk konsumtif. Lantaran harganya yang terjangkau, seringkali membeli pakaian tidak sesuai kebutuhan, bahkan buntutnya tidak terpakai.
Alih-alih menyelesaikan masalah lingkungan, tren thrifting justru berpotensi menimbulkan lebih banyak limbah pakaian. Untuk diketahui, tidak semua pakaian bekas impor bisa dijual, yang ujung-ujungnya berakhir di tempat sampah. Menurut sejumlah sumber, ada sekitar 10% pakaian tak layak dari setiap bal pakaian bekas impor. Artinya, Indonesia menampung sekitar 2,7 ribu ton sampah kain dari bisnis thrifting impor tahun lalu.
Itu baru berasal dari bisnis pakaian second impor. Bagaimana dengan sampah kain perseorangan dan produksi industri lokal?
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampah kain menyumbang 2,6% terhadap timbunan sampah nasional pada 2022. Persentase itu setara dengan 487,7 ribu ton. Sementara earth.org, platform berita dan data lingkungan, belum lama ini melaporkan bahwa dari 100 miliar helai pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah. Jika tren ini berlanjut, jumlah limbah fesyen diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta per tahun akhir dekade ini.
Dilihat dari beberapa lokasi, proporsi sampah kain tercatat lebih tinggi. Di daerah aliran sungai (DAS) Citarum misalnya, angka sebesar 3,9% dari total timbulan sampah atau sekitar 32,9 ribu ton pada 2022. Di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, persentase sampah kain mencapai 8% dari total sampah di Kawasan tersebut atau setara 616,2 ton per hari pada 2019. Sampah kain hanya kalah dari sampah sisa makanan 43% dan plastik 28%.
Tatan Khalid Mawardi, S.St,.M.Sn sebagai pengajar mata kuliah tekstik di Esmod Jakarta dan Politeknik Kreatif Sembiring mengatakan sampah pakaian bekas impor seharusnya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.
“Semakin banyaknya pakaian bekas masuk ke Indonesia di setiap kota, berarti residunya banyak, kita yang rugi dong. Di satu kota saja bisa menimbun limbah fesyen pakaian bekas impor, ada berapa banyak residu yang tertimbun dan tidak terkontrol. Bukannya menjaga lingkungan, tapi jadi penyumbang limbah fesyen juga,” kata Tatang.
Pada dasarnya, tren thrifting memiliki dampak positif pada lingkungan jika dilakukan dengan benar. Salah satu contohnya adalah jika pakaian yang dijajakan berasal dari produk lokal. Dengan demikian dapat mengurangi jumlah fesyen dalam negeri karena pakaian bekas memiliki usia pakai yang lebih lama meski berganti pengguna.
VOIR éGALEMENT:
Melihat sejumlah fakta dampak buruk industri tekstil, masyarakat perlu berpartisipasi menyelamatkan bumi. Cara termudah adalah dengan bijak dalam berpakaian, membeli pakaian sesuai kebutuhan, dan hindari perilaku belanja impulsif.
Meski menyimpan potensi masalah lingkungan, fenomena thrifting sepertinya belum akan lenyap dalam waktu dekat mengingat peminatnya semakin banyak dari hari ke hari. Sebagai konsumen harus bijak dalam melakukan pembelian, termasuk pakaian second-hand. Meski dapat dibeli dengan harga miring, belilah sesuai kebutuhan, bukan karena ‘lapar mata’ demi membantu mengurangi limbang pakaian.