JAKARTA - Siapa yang tak kenal sosok Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso? Nama yang tak hanya berkibar di dunia kemiliteran, tapi juga pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 1997-2007, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2015. Bang Yos, begitu dia disapa, menyempatkan waktu untuk ngobrol bareng di podcast EdShareOn bersama Eddy Wijaya yang tayang Rabu, 24 April 2024.
Dalam obrolan santai di Museum Bang Yos di Jalan Raya Kalimanggis, Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sutiyoso mengisahkan kembali hidupnya yang bak istilah “from zero to hero”.
Sutiyoso, mulanya, “hanyalah” seorang anak kampung yang lahir di Gunung Pati, tepatnya di Desa Pongangan, Gunung Jati, Semarang, Jawa Tengah, 80 tahun silam. “Saya bukanlah Superman, bukan pula Rambo. Saya hanya seseorang yang alhamdulilah dapat kesempatan,” katanya.
Sutiyoso adalah anak keenam dari delapan bersaudara. Ia merupakan anak dari seorang guru yang hidup sederhana bernama Tjitrodiharjo dan Sumini. Masa kecilnya dihabiskan untuk menggembala kambing dan sapi untuk ikut menopang ekonomi keluarga. “Saya tidak pernah makan daging kambing gembalaan karena sering dijual-jualin untuk membiayai sekolah kami,” katanya.
Namun kondisi itu tak membuat Sutiyoso kecil bersedih. Ia mengaku lebih banyak bersyukur karena melihat orang lain yang hidupnya lebih miskin dari keluarganya. “Padahal sepeda saja saya tidak punya. Sandal jepit, apalagi. Jadi ke mana-mana nyeker. Saya memakai sepatu pertama kali ketika masuk SMP yang sekolahnya ada di kota (Semarang). Masa, masuk kota cekeran,” ucapnya tertawa.
Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, Sutiyoso melanjutkan sekolah hingga ke bangku kuliah di Semarang. Namun ia mengaku tak betah kuliah. Pada tahun kedua kuliah, dia pun diam-diam mendaftar Akademi Militer (Akmil) Magelang hingga akhirnya lolos pada 1968.
“Saya diam-diam mendaftar karena tidak akan diizinkan Ibu. Ia cukup trauma dengan kakak saya yang juga TNI, karena sering dikira meninggal di medan perang,” katanya. “Bahkan beliau pernah dua kali menggelar tahlilan karena dapat kabar kakak saya meninggal.”
また読む:
Tunda Nikah Demi Karir Moncer
Dalam ngobrol bareng Eddy Wijaya di podcast EdShareOn, Sutiyoso juga membagi rahasia suksesnya di dunia militer. Seperti diketahui, karir Sutiyoso cukup moncer. Dia pernah menjadi Wakil Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korem 062 Suryakencana, hingga Kepala Staf Kodam Jaya tahun 1994. Puncak karier militernya saat menjadi Panglima Kodam Jaya pada 1996.
Posisi tinggi tersebut tak didapatkannya dengan mudah, tapi penuh perjuangan dan tantangan. “Saya menunda pernikahan karena sering dapat tugas mendadak. Hingga akhirnya saya bisa menikah saat berpangkat kapten pada usia 30 tahun,” ujarnya. “Di mess perwira grup dua Magelang itu tinggal saya sendiri penghuninya karena yang lain sudah pada menikah,” tambahnya sambil tertawa.
Di penghujung karir, Sutiyoso didapuk sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2015. Pada posisi tertinggi di dunia intelijen dan usia yang tak lagi muda yakni 68 tahun, Sutiyoso tetap menunjukkan kemampuannya dalam medan operasi. Bersama dua anak buahnya, ia menyusuri hutan Aceh untuk menangkap buronan GAM paling dicari Nurdin Ismail alias Din Minimi. “Pekerjaan ini penuh risiko ya. Namun penuh perhitungan. Tidak juga asal nekat.”
Operasi itu sukses membuat Din Minimi menyerah bersama 120 pasukannya. Menariknya, ia berhasil bukan melalui pertempuran, melainkan pendekatan dialog personal dengan sang kombatan. “Besi saja bisa dibengkokkan apalagi hati manusia,” ucapnya. Saksikan tayangan lengkapnya eksklusif bersama Eddy Wijaya di podcast EdShareOn! (ADV)
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)