JAKARTA - Pemerintah secara resmi memutus pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini berstatus aparatur sipil negara (ASN). Status ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

Peraturan yang muncul akibat revisi UU KPK tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Juli dan diundangkan pada 27 Juli.

PP tersebut berisi empat bagian dan 12 pasal. Terkait perubahan status termaktub dalam ketentuan Pasal 4 yang menyebut ada sejumlah tahapan dalam pengalihan status tersebut yaitu melakukan penyesuaian jabatan di KPK dengan jabatan ASN sesuai di dalam peraturan perundang-undangan, melakukan identifikas jenis dan jumlah pegawai, memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi pegawai KPK, serta melakukan pelaksanaan dan penetapan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Peraturan ini juga menjamin pengalihan status tersebut akan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan struktur organisasi di internal KPK.

Selanjutnya di dalam Pasal 9 PP ini juga mengatur gaji dan tunjangan bagi pegawai KPK. Pegawai lembaga antirasuah saat ini akan diberikan gaji dan tunjangan dengan ketentuan perundangan dan jika terjadi penurunan dari nominal sebelumnya maka akan diberikan tunjangan khusus yang diterapkan dari Peraturan Presiden.

Menanggapi PP Nomor 41 Tahun 2020 itu, Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan pihaknya tengah mempelajari dan selanjutnya akan membuat Peraturan Komisi (Perkom) yang akan melibatkan kementerian maupun lembaga terkait.

Sementara Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengkhawatirkan independensi koleganya di lembaga antirasuah itu akan tergerus ketika mereka berubah status menjadi ASN.

"PP ini memang konsekuensi dari berbahnya status pegawai KPK menjadi ASN sesuai revisi UU KPK. Saat ini wadah pegawai KPK sedang mempelajari dan menganalisis PP 41 Tahun 2020 tersebut dari berbagai aspek, terutama dampaknya bagi independensi pegawai KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi," kata Yudi seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin, 10 Agustus.

Sedangkan kekhawatiran muncul dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Kata dia, setidaknya ada beberapa konsekuensi hukum dan politik karena terbitnya PP tersebut. Salah satunya adalah menjadikan lembaga antikorupsi itu mudah diintervensi kepentingan politik yang kerap menyandra kepentingan agenda pemberantasan korupsi.

"Bahkan yang paling dikhawatirkan adalah tidak akan ada lagi kerja-kerja penindakan tindak pidana korupsi. Yang ada cuma pencegahan, kampanye, dan sosialisasi," kata Abraham dalam keterangan tertulisnya.

Lebih lanjut, konsekuensi lain yang disebut Abraham adalah kendurnya militansi pegawai KPK dalam menyuarkan isu antikorupsi. Padahal, pegawai KPK dikenal berani menyuarakan isu tersebut meski berseberangan dengan Pimpinan KPK.

Keberanian ini, kata dia, muncul karena pegawai KPK sebelum PP ini muncul diangkat dan diberhentikan oleh KPK sendiri bukan melalui lembaga lain. "Hal ini karena pegawai KPK memiliki militansi ideologis yang akarnya itu karena mereka 'pegawai KPK' yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, bukan instansi lain," ungkapnya.

"Mereka (pegawai KPK, red) menjaga KPK seperti menjaga rumah sendiri. Alih status ini membuat mereka bukan lagi 'orang KPK', meskipun statusnya 'pegawai KPK'," imbuhnya.

Konsekuensi terakhir, Samad bilang, PP ini bisa menghilangkan kekhusuan KPK sebagai lembaga antikorupsi. Salah satunya adalah menghilangkan sistem penerimaan pegawai melalui 'Indonesia Memanggil'.

"Penerimaan pegawai KPK dengan model merit sistem ini adalah bentuk kekhususan KPK. Tapi sebetulnya, kekhususan itu sudah mati ketika UU Nomor 19 Tahun 2019 itu diberlakukan dengan menempatkan KPK di bawah presiden," pungkasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)