JAKARTA – Sejarah hari ini, 361 tahun yang lalu, 10 Juli 1659, Kesultanan Banten dan maskapai dagang Belanda, VOC menandatangani perjanjian damai. Perjanjian damai itu dilakukan karena kehebatan siasat VOC yang paling terkenal: Devide at Impera (politik adu domba).
VOC mencoba mengadu domba orang nomor satu Banten Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. Buahnya, Sultan Haji yang didukung oleh Kompeni memenangkan pertarungan. Kemenangan Sultan Haji membuat VOC banyak diuntungkan. Utamanya masalah monopoli rempah.
Kompeni paham benar bahwa peperangan bukan jalan terbaik untuk merebut wilayah Nusantara. Berkali-kali perang digulirkan VOC justru dapat sial. Alih-alih untung, malah VOC malah buntung. Kerugiannya justru jauh lebih besar dibanding keuntungan.
Mau tak mau VOC ubah siasat untuk dapat memopoli perdagangan rempah Nusantara. VOC memilih siasat yang lebih elegan. Devide et impera, namanya. Politik adu domba itu pun membawa VOC ke puncak kejayaan. VOC untung besar karenanya. Apalagi biaya yang dikeluarkan relatif kecil.
Siasat adu domba VOC jitu. Apalagi konflik kekuasaan kerajaan di Nusantara banyak intrik. Banyak orang yang mau berkuasa tapi tiada memiliki armada dan uang. VOC pun memanfaatkan situasi itu. Ia menawarkan bantuan.
Raja yang ingin dikudeta pun tak siap dengan serangan yang didukung penuh VOC. Alhasil, VOC banyak menaklukkan wilayah Nusantara dengan mengadu domba kerajaan Nusantara. Itulah yang dilakukan VOC kepada Kesultanan Banten.
“Dengan senjata ampuhnya yang terkenal di dalam Sejarah Indonesia dengan nama ‘Devide et Impera’ atau politik pecah-belah dan jajahlah, akhirnya kaum penjajah Belanda dapat menguasai baik Kerajaan Banten maupun Kerajaan Mataram.”
“Kerajaan Mataram pun yang pada masa pemerintahaan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mencapai puncak kejayaannya, karena senjata Devide et Impera Belanda, akhirnya terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Hal ini harus dicamkan betul-betul dan dijadikan pelajaran dari sejarah oleh bangsa Indonesia yang menghendaki kejayaan Tanah Airnya,” ungkap Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).
Khusus dalam penaklukan Kesultanan Banten, VOC mencoba mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. VOC menggerakkan segala daya upaya untuk mendukung Sultan Haji mengalahkan ayahnya.
Sebagai gantinya, VOC meminta balasan yang membuatnya untung. Banten pun memberikan hak VOC membangun benteng hingga mendominasi perdagangan rempah. Puncak kerjasama keduanya digoreskan dalam perjanjian damai antara Banten dan Kompeni pada 10 Juli 1659.
“Dalam masalah politik kenegaraan, ia dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke dalam kekuasaan Banten adalah cita-cita utama, dan karenanya ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada tahun 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.”
SEE ALSO:
“Pada tahun 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Pada tahun 1657 Belanda menawarkan perjanjian damai, namun perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sehingga ditolak oleh sultan. Pada tahun 1580 mulailah perang besar. Perang ini berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata,” Tri Hatmadji dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007).
Kesepakatan damai antara Kesultanan Banten dan VOC menjadi bagian catatan sejarah hari ini, 10 Juli 1659.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)