Bagikan:

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kelebihan pembayaran atas insentif tenaga kesehatan (nakes). Kelebihan pembayaran antara bulan Januari hingga Agustus 2021. Itu terjadi akibat kesalahan teknis pada saat penarikan database usulan insentif nakes yang dari aplikasi insentif nakes yang dikelola oleh badan pengembangan dan pemberdayaan SDM (PPSDM) kesehatan.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan kelebihan pembayaran insentif nakes ini terjadi lantaran adanya duplikasi nama penerima. Sebab, pada saat dilakukan perubahan menggunakan sistem baru dengan aplikasi, ternyata ada satu prosedur yang tidak diikuti yakni cleansing data.

Agung menuturkan, Kementerian Kesehatan melewatkan langkah pembersihan data atau cleansing data ketika melakukan rotasi pembayaran insentif dari berbasis pemerintah daerah (Pemda) menjadi berbasis aplikasi.

"Tejadi duplikasi data penerima intensif, dan data ini dijadikan dasar pembayaran insentif nakes sehingga terjadi kelebihan pembayaran untuk 8.961 nakes," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 1 November.

Adapun pembayaran insentif lewat aplikasi diperlukan untuk memperkecil pemotongan dan kasus lain yang kerap terjadi saat penyalurannya melalui Pemda. Sedangkan jika melalui aplikasi, nakes bisa langsung menerima insentif tersebut.

Lebih lanjut, Agung mengatakan bahwa jumlah kelebihan pembayaran insentif nakes ini bervariasi dari rentang ratusan ribu hingga Rp50 juta per nakes.

"Kelebihan pembayaran ini tercatat sampai dengan dari 1 Januari 2021-19 Agustus 2021 dan bervariasi antara Rp178 ribu sampai dengan Rp50 juta," jelasnya.

Dengan demikian, BPK merekomendasikan Menteri Kesehatan melalui Badan PPSDM Kesehatan untuk memproses sisa kelebihan pembayaran insentif nakes yang masih ada per September 2021.

Agung mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan atas pengelolaan pinjaman luar negeri Indonesia Emergency Response to COVID-19 Tahun 2020 - 2021 pada Kementerian Kesehatan sejumlah 500 juta dolar AS dari Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB).

Lebih lanjut, Agung menjelaskan tujuan pemeriksaan adalah memberikan penilaian atas kepatuhan program atau kegiatan dalam mencapai Disbursement Linked Indicator (DLI)/Disbursement Linked Result (DLR) pinjaman luar negeri tersebut.

"Pinjaman itu diberikan dengan beberapa indikator, jadi setelah indikatornya tercapai seperti pembentukan gugus tugas nasional COVID-19 dan sebagainya, barulah pinjaman tersebut cair," ujarnya.

Menurut Agus, dari berbagai indikator tersebut, BPK melakukan pemeriksaan yang menemukan kelebihan pembayaran insentif tenaga kesehatan karena adanya proses pembersihan data yang terlewatkan saat implementasi aplikasi pemberian insentif.

Namun, Agung enggan menyebut berapa total insentif yang diterima para nakes tersebut. Sebab proses pemeriksaan belum selesai dan masih didiskusikan lebih lanjut seperti apa langkah penyelesaiannya. Saat ini pun, angka totalnya terus berkurang karena Kemenkes melakukan respons cepat untuk melakukan perbaikan terhadap data tersebut.

"Nanti hasil pemeriksaannya akan dirilis dan bisa dilihat secara terbuka, beserta solusi yang kami berikan," tuturnya.