Indonesia Optimistis Memasuki Masyarakat 5.0 seperti Jepang, Bambang Brodjonegoro: Ada 1.800 Startup yang Kita Punya
Bambang Brodjonegoro. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia optimistis bisa memasuki masyarakat 5.0 seperti yang dialami Jepang saat ini. Beberapa faktor menjadi alasan untuk mencapai ke arah tersebut.

"Ada lebih dari 1.800 startup yang kita punya, beberapa di antaranya menjadi unicorn decacorn. Kita juga punya enterpreneur baru. Itu sebuah kesempatan," kata Bambang Brodjonegoro yang menjadi keynote speaker acara Jakarta Geopolitical Forum V/2021 yang diselenggarakan Lemhannas, Kamis, 21 Oktober.

Saat ini Jepang merupakan negara pertama yang memasuki masyarakat 5.0. Sementara Indonesia saat ini baru memasuki masyarakat 4.0.

Menurut Bambang, Indonesia memiliki kesempatan menjadi masyarakat 5.0 karena mempunyai tiga sektor potensial yakni agrikultur, manufaktur dan ICT (information, communication and technology). Meski begitu Indonesia juga memiliki tantangan lain yakni populasi yang besar, SDM, digital infrastructure, human resource, dan integrated data base (penta helix).

"Semoga Indonesia dapat mencapai masyarakat 5.0 seperti Jepang, dengan adanya beberapa teknologi sebagai penunjangnya," kata Bambang.

Untuk kelima kalinya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI menyelenggarakan Jakarta Geopolitical Forum V/2021. Kali ini, gelaran tersebut dihelat pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021.

Tahun ini, Lemhannas mengangkat tema The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 Culture And Civilization: Humanity at the Crossroads. Ada sepuluh narasumber terkemuka diundang menjadi pemateri.

Tiga narasumber berasal dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, Prancis dan Indonesia dalam acara berskala internasional tersebut. Narasumber tersebut yakni Rudy Breighton, dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston; Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; Jean Couteau, Antropolog dan Budayawan dari Prancis.

Kemudian ada Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; Ros slan Yusni Hasan, Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho cendekiawan sosial-politik.

Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo telah membuka acara JGF, Kamis, 21 Oktober pukul 08.00. Saat membuka acara ini, Gubernur Lemhannas RI menyampaikan pemikiran post modernism telah terevolusi dan merevolusi pemikiran manusia.

Hal tersebut kata dia, membuat manusia menjadi berpikirsecara lebih rasional dan pragmatis. Realita palsu bisajuga dibuat atau dipancing oleh teknologi yang membantu orang lebih memiliki imajinasi yang lebih kuat dengan adanya penggunaan teknologi artificial.

"Jadi, kemajuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi punya dampak yang besar terhadap peradaban manusia," katanya.

Lebih lanjut Agus Widjojo mengatakan perkembangan atau kemajuan teknologi, pandemi, politik, kesenjangansosial, kekurangan sumber daya, akan memengaruhi masa depan manusia dan kemanusiaan. Hal ini juga menimbulkan adanya dominasi agama terhadap teknologi dan juga adanya perkembangan ide-ide keagamaan.

"Kita telah mencapai titik di mana kita harus menentukan masa depan kita apakah akan lebih bersatu atau lebih terpecah-pecah dan pilihan yang ada di hadapan kitaakan terkait dengan pencapaian tujuan universal melalui harmonisasi dua sudut pandang yang saling bertentangan," kata Agus.

"Untuk mengaitkan dua sudut pandang ini, kata Agus Widjojo, harus ada analisis dan bukti bahwa kemanusiaan harus tetap menjadi prioritas di setiapkejadian. Toleransi harus menjadi konsep utama karena subjek dan objek akan terus berinteraksi," imbuh Agus.

Pada saat manusia bereaksi terhadap perubahan politik, kultural, dan teknologi, maka menurut Agus Widjojo akan membawa disrupsi.

"Disrupsi harus menjadi katalisator untuk pencerahan demi masa depan yang lebih baik bagi manusia," katanya.

Karena itu, teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah peradaban itu sendiri, tapi seharusnya menjadi alat untuk kemajuan manusia dan kemanusiaan.

Hidup manusia akan terbantu oleh kemajuan teknolog dan kecepatan pengembangan teknologi. Ini telah membawa banyak konsekuensi positif maupun negatif.

"Kalau tidak kita kelola dengan baik hal ini bisa membahayakan peradaban," katanya.

Serupa dengan itu, dogma-dogma agama juga bisamenghambat atau membahayakan peradaban. Pemikiran mainstream dapat berujung pada musnahnyaperadaban. Karena itu kita memerlukan adanya pengelolaan yang baik terhadap budaya bangsa dan menjadi paradoks bahwa suatu bangsa memiliki budayayang kaya di masa lalu tetapi kemudian peradaban bisa hancur karena adanya budaya-budaya atau nilai-nilai yang dibawa oleh budaya atau peradaban lain. "Karena itukita harus membangun dan mempertahanakan, memelihara nilai-nilai budaya dari setiap peradaban dan seharusnya perkembangan peradaban manusia tidakmenghancurkan budaya dari peradaban atau bangsamana pun," kata Agus.