Singgung Kapitalisme Negara, Faisal Basri: BUMN Kita Lebih Parah dari Negara Komunis China
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Indef Faisal Basri menyinggung soal munculnya state capitalism atau kapitalisme negara dalam penataan perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). Ia pun mengajak untuk kembali merenungkan peran negara. Apalagi, revisi undang-undang (RUU) BUMN justru mengarah untuk membuat BUMN semakin besar.

"Di mata saya semangat RUU ini adalah mewujudkan state capitalism, membuat BUMN semakin besar. Merambah ke segala lini lewat holdingisasi yang akhirnya nanti menjadi super holding," katanya dalam webinar, Rabu, 6 Oktober.

Bahkan, Faisal mengatakan perusahaan pelat merah acap kali menjadi agen tunggal pembangunan yang memonopoli pasar. Menurut dia, BUMN Indonesia jauh lebih buruk daripada negara komunis China.

"Bahkan BUMN di kita lebih parah dari negara komunis di China. Kita punya BUMN migas dua PGN dan Pertamina eh digabung jadi satu, jadi monopoli. Sementara BUMN di China itu ada empat dan masing-masing berkompetisi," ucapnya.

Lebih lanjut, Faisal mengaku heran mengapa Singapura yang tidak lebih besar dari Indonesia justru menjadi acuan untuk membentuk holding BUMN. Padahal, kata Faisal, Singapura punya alasan sendiri mengapa BUMN-nya dibuat besar.

"Singapura memang membutuhkan superholding karena apa? negaranya kecil penduduknya cuma 4 juta, swastanya tidak mungkin bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk bersaing dengan kekuatan korporasi global. Jadi mereka harus seperti itu namun uniknya Singapura yang kecil itu jadi acuan kita," jelasnya.

Di samping itu, Faisal juga menyoroti pemerintah yang telah menyerahkan berbagai penugasan kepada BUMN di hampir semua sektor. Ia menilai, dengan dalih penugasan tersebut negara justru menjadikan perusahaan sebagai alat fiskal.

"Syarat sekali semangat untuk menjadikan BUMN sebagai alat fiskal, alat pembangunan dengan istilah penugasan," tuturnya.

Faisal menjelaskan yang dimaksud dengan penugasan adalah pemerintah menyuruh BUMN melakukan sesuatu yang pemerintah mau, tetapi tidak lewat mekanisme APBN yang sehat. Contohnya adalah Pertamina yang ditugaskan untuk menjual BBM satu harga di seluruh Indonesia.

"Menurut saya ini tidak boleh yang namanya penugasan model sekarang ini. Jadi kuncinya adalah pemerintah mau menggratiskan BBM pun tidak apa-apa yang penting kalau yang ditugaskan perusahaan itu menjual dengan harga lebih rendah dari ongkos harus ada yang namanya subsidi dan subsidi itu masuk APBN nah pemerintah tidak mau," ucapnya.

Namun, kata Faisal, di dalam APBN saat ini ada istilah subsidi BBM dan dana kompensasi. Menurut dia, dana subsidi BBM dibayarnya lancar, sedangkan dana kompensasi dibayarnya suka-suka pemerintah.

"Karena banyak ditugaskan maka menempatkan tagihan pemerintah sebagai tagihan jangka panjang dibayar syukur, gak dibayar masa bodo deh. Jadi merusak sendi-sendi bernegara yang sehat menurut saya," tuturnya.

Contoh lainnya, kata Faisal, pembayaran parkir bandara di Bandara Internasional Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu yang mesti menggunakan kartu e-Money. Kebijakan ini dianggap merepotkan karena semua warga yang masuk ke bandara lantaran harus memiliki kartu yang dibeli dari Bank Mandiri.

Menurut Faisal, privatisasi perusahaan pelat merah dan upaya membesarkan BUMN yang anti-persaingan justru membuat kompetisi menjadi semakin rendah. Efeknya, kata Faisal, kesejahteraan masyarakat justru akan menurun.

"Jadi ini anti persaingan. Bahkan kalau dilihat, saya jadi sangat maklum kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia makin lama makin lambat. Karena percayalah makin besar peran BUMN dalam perekonomian semakin sengsara rakyat," ucapnya.

Faisal menekankan dirinya tidak anti BUMN. Namun, Faisal berharap BUMN memiliki efek eksternal yang positif dan memberikan terhadap ekonomi masyarakat.

"Saya bukan anti BUMN sekali, tidak. BUMN-BUMN hidupnya adalah karena dia mengemban misi negara yang kita sebut dalam ekonomi itu memiliki eksternalitas positif yang besar punya social impact yang besar," tuturnya.