Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pemerintah tidak konsisten dalam menghadirkan aturan pungutan perpajakan secara sehat bagi masyarakat. Menurut dia, setidaknya terdapat dua skema yang dianggap saling berbenturan.

“Pengenaan pajak progresif (pajak penghasilan/PPh orang pribadi) sesuai tingkatannya yang memungut sampai 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar ini ada ketidakkonsistenan dengan tax amnesty,” ujarnya dalam sebuah webinar pada Rabu, 6 Oktober.

Menurut Tauhid, pengenaan tarif tinggi bagi orang super kaya tersebut lantas dibarengi aturan pengampunan pajak atau tax amnesty yang hampir dipastikan hanya digunakan oleh orang yang kaya pula.

Sebab, tax amnesty bertujuan untuk memberikan fasilitas pengurangan atau bahkan penghapusan pajak atas sejumlah kekayaan yang luput dari objek pajak, seperti disimpan luar negeri.

“Di satu sisi akan dikenakan pajak yang tingg, tapi di sisi lain pemerintah memberlakukan tax amnesty, ini seolah-olah saling meniadakan,” tuturnya.

Untuk diketahui, dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sebelumnya disebut Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), pemerintah menambah besaran pungutan PPh orang pribadi (OP) menjadi lima kategori.

Pertama, pajak 5 persen untuk yang berpenghasilan Rp60 juta per tahun. Kedua, pajak 15 persen untuk penghasilan Rp60 sampai dengan Rp250 juta.

Ketiga, pajak sebesar 25 persen untuk penghasilan Rp250 juta hingga 500 juta. Empat, pungutan PPh 30 persen untuk orang dengan penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar.

Serta yang kelima adalah pajak 35 persen untuk masyarakat yang mempunyai penghasilan di atas Rp5 miliar dalam satu tahun.

“Saya khawatir apa yang dilakukan jadi upaya kontraproduktif pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak yang pada akhirnya mereka (orang kaya) akan menunggu tax amnesty saja,” katanya.

Sebagai informasi, langkah penyelenggara negara untuk memperbesar penerimaan dari sektor perpajakan bertujuan untuk mengejar target APBN yang cukup tertekan akibat pandemi COVID-19.

VOI mencatat, pada APBN 2021 diyakini mengalami defisit sebesar Rp1.006,4 triliun karena sisi belanja negara yang lebih besar dengan Rp2.750 triliun dari pada pendapatan yang sekitar Rp1.743,6 triliun.

Terlebih pada 2022 mendatang sektor pajak akan menjadi tumpuan utama pemerintah dalam menghimpun pundi-pundi keuangan negara karena sektor PNBP (penerimaan negara bukan pajak) diproyeksi mengalami tekanan 6,7 persen year-on-year seiring dengan berakhirnya boom komoditas.