Bisnis Hypermarket seperti Giant Tumbang Gegara Pandemi, APPBI: Kalah Saing dengan Minimarket
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Di masa pandemi COVID-19 ini banyak ritel besar atau hypermarket yang tumbang. Salah satu penyebabnya adalah adanya pembatasan kegiatan masyarakat. Pembatasan tersebut membuat ritel besar kalah saing dengan minimarket.

Untuk diketahui, bisnis ritel sektor fast moving consumer goods (FMCG) terbagi menjadi tiga jenis, yakni hypermarket, supermarket, dan minimarket. Perbedaannya terletak pada format, ukuran, dan fasilitas yang diberikan.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan bahwa terjadi tren perubahan perilaku masyarakat dalam belanja di masa pandemi COVID-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ini.

"Contoh kenapa selama PPKM ini hypermarket terkena dampak. Padahal hypermarket itu kan termasuk kategori kebutuhan pokok, kebutuhan utama. Tetapi beberapa waktu terakhir ini kita dengar beberapa tutup. Ini karena terjadi tren perubahan di dalam pola belanja masyarakat," katanya, di dalam diskusi virtual, dikutip Rabu, 28 Juli.

Masyarakat, sambung Alphonzus, saat ini lebih memilih belanja di minimarket ketimbang harus ke supermarket atau hypermarket. Pasalnya, produk yang dijual di minimarket sekarang semakin beragam dan banyak penawaran promo.

Kondisi semakin diperparah karena pandemi. Kata Alphonzus, masyarakat takut untuk keluar rumah, pusat perbelanjaan sempat ditutup, dan kegiatan di ruang publik pun dibatasi. Alhasil, peluang bisnis hypermarket semakin tertutup. Masyarakat lebih memilih belanja di minimarket yang dekat dengan rumahnya.

"Dulu itu kan masyarakat belanjanya adalah belanja mingguan bahkan bulanan, di mana? Di hypermarket karena belanjanya banyak sekali. Selama PPKM dan PSBB, mobilitas dibatasi, tidak boleh bergerak terlalu jauh. Akhirnya apa yang dicari adalah minimarket yang ada di dekat rumahnya dan belinya juga seperlunya karena daya beli turun. Itulah kenapa akhirnya hypermarket kena dampak," ucapnya.

Karena itu, kata Alphonzus, sebaiknya pusat perbelanjaan dibangun di dekat perumahan, bukan di tengah kota Jakarta yang jauh dari pemukiman penduduk. Dengan begitu, hypermarket yang berada di dalam pusat perbelanjaan tersebut akan sukses.

"Pusat perbelanjaan yang dicari adalah yang dekat dengan perumahan yang dekat dengan rumahnya dan ini sudah terjadi yang tadi saya sampaikan contoh tutupnya hypermarket. Menurut saya justru pusat perbelanjaan itu harus dibangun di dekat perumahan," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Head of Commercial Marketing NWP Retail Teges Prita Soraya mengatakan sebagai platform pusat perbelanjaan ritel pihaknya membangun pusat belanjaan berfokus di luar Jawa.

Lebih lanjut, Teges mengatakan bahwa keberadaan sebuah pusat perbelanjaan di daerah akan menambah value kota tersebut. Menurut dia, biasanya setelah pihaknya memiliki rencana untuk pengembangan sebuah mal di suatu daerah, tanah di sekeliling lokasi mal itu akan ikut dibangun.

"Developer-developer lokal itu langsung akan membangun cluster-cluster kecil sehingga harga tanah mereka menjadi naik. Kemudian setiap kali kita membikin mal, nanti di sepanjang jalan menuju mal itu langsung tiba-tiba sudah ada ruko, yang tadinya pada saat kita mulai groundbreaking tidak ada ruko," ujarnya.