Bagikan:

JAKARTA – Manajemen Garuda Indonesia secara terang-terangan telah menyiapkan skenario penghentian kegiatan usaha alias bangkrut jika sejumlah rencana perbaikan kinerja yang kini tengah diupayakan menemui jalan bantu.

Mengutip laporan keuangan Garuda Indonesia periode 2020 yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini, maskapai nasional itu mengaku sudah mengambil enam inisiatif strategis.

Pertama, melakukan negosiasi kepada kreditur agar perseroan mendapatkan relaksasi pembayaran hutang.

Kedua, melakukan negosiasi dengan lessor untuk mendapatkan skema yang lebih baik bagi operasional, termasuk namun tidak terbatas pada pengurangan pembayaran sewa bulanan dan dana cadangan pemeliharaan, dan merubah ke pengaturan power by the hour.

Ketiga, melakukan rasionalisasi positif jumlah karyawan sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan. Empat, mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang di Pemerintah untuk pencairan sisa dana fasilitas obligasi wajib konversi.

Lima, memohon kepada instansi yang berwenang di pemerintah agar perseroan mendapatkan relaksasi pembayaran kewajiban perpajakannya.

Serta yang keenam adalah memohon dukungan keuangan dan persetujuan dari instansi yang berwenang di pemerintah agar perusahaan dapat menjalankan restrukturisasi keuangan dan operasi grup. Asal tahu saja, langkah terakhir yang disebutkan oleh emiten berkode saham GIAA itu merupakan bentuk lain dari permintaan penyertaan modal negara (PMN) alias injeksi modal.

“Manajemen berpendapat bahwa, dengan mempertimbangkan rencana dan langkah-langkah tersebut di atas, perseroan akan memiliki sumber keuangan yang cukup untuk untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan oleh karena itu penyusunan laporan keuangan konsolidasian dengan dasar kelangsungan usaha adalah tepat,” kata Garuda Indonesia pada Jumat, 16 Juli.

Namun demikian, keterlaksanaan dan efektivitas rencana manajemen dalam memperbaiki kondisi keuangan perusahaan akan tergantung pada lima asumsi krusial ini, yaitu kreditur akan menyetujui relaksasi pembayaran utang, lessor akan menyetujui untuk negosiasi restruktrisasi kewajiban sewa, rasionalisasi jumlah karyawan.

Lalu, pemegang saham akan terus memberikan dukungan finansial kepada perseroan, dan Direktorat Jenderal Pajak akan menyetujui relaksasi pembayaran kewajiban perpajakan.

“Jika tidak dapat merealisasikan rencana dan tindakan yang disebutkan di atas, perusahaan mungkin tidak dapat terus beroperasi sebagai kelangsungan usaha. Laporan keuangan konsolidasian ini tidak mencerminkan penyesuaian yang diperlukan jika perseroan tidak dapat melanjutkan kelangsungan usahanya,” tegas Garuda.

Sebagai informasi, national flag carrier karir tersebut menderita kerugian konsolidasi sebesar 2,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp36,2 triliun (kurs Rp14.503) pada sepanjang 2020 lalu.

Garuda menyebut liabilitas jangka pendek grup melebihi aset lancarnya sejumlah 3,8 miliar dolar AS dan grup mengalami defisiensi ekuitas sebesar 1,9 miliar dolar AS.

Kemudian, pendapatan usaha perseroan di tahun buku 2020 tercatat sebesar 1,4 miliar dolar AS. Angka tersebut terjun bebas dibandingkan dengan 2019 saat belum terjadi pandemi dengan 4,5 miliar dolar AS.