JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkap, sejak tahun 2005 hingga 2020 pengangguran terdidik lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jumlahnya terus meningkat. Salah satu penyebabnya karena pemerintah salah dalam menentukan kurikulum yang diterapkan di SMK.
Ekonom Indef Mirah Midadan mengatakan seharusnya siwsa-siswa SMK dipersiapkan untuk bisa terserap dalam dunia kerja. Tetapi, justru pada kenyataannya menjadi salah satu kontributor terbesar pada angka pengangguran.
Mirah mengungkap lulusan SMK di tahun 2005 yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja mencapai 11 persen. Sedangkan di tahun 2020 jumlahnya meningkat menjadi 24 persen dari total pengangguran di Indonesia.
"Ini berarti ada yang keliru entah tidak ada link and match atau dari kurikulumnya tidak siap menghasilkan output yang tak bisa bersaing di pasar tenaga kerja," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 13 Juli.
Angka tersebut hampir menyaingi siswa lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja. Adapun kontribusinya terhadap pengangguran di tahun 2005 mencapai 25 persen dan terus bergerak fluktuatif hingga tahun 2020 yang mencapai 27 persen.
Lebih lanjut, Mirah mengatakan bahwa sebagian pengangguran lulusan SMK justru tinggal di daerah-daerah industri seperti DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Sehingga berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia.
BACA JUGA:
"Jadi penduduk miskin kita di tahun 2020 kurang lebih 12,8 persen. Persentasenya angka kemiskinan di perkotaan cenderung meningkat, akhirnya itu berimplikasi terhadap persentase penduduk miskin secara nasional," ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, Mirah menilai, pemerintah harus melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap sistem pendidikan di SMK. Selain itu, upaya pemberian pelatihan juga harus dilakukan agar para siswa SMK memiliki ketrampilan dan nilai tambah dalam bersaing di pasar tenaga kerja.
"Pemerintah bisa memberikan pelatihan yang bisa meningkatkan kemampuan. Jadi ada added value-nya di semua orangnya, khususnya perlu diberikan pada korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mereka tidak punya kemampuan melakukan moderninsasi atau dinamika perekonomian saat ini," tuturnya.