JAKARTA - Perusahaan pengolahan minyak nabati, PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk membukukan kinerja yang tidak terlalu memuaskan di kuartal I 2021. Hal itu karena terjadi peningkatan pada sisi penjualan, namun tidak diiringi dengan tumbuhnya laba tahun berjalan emiten bersandi saham CEKA tersebut.
Dikutip dari laporan keuangan Wilmar yang dipublikasikan di laman keterbukaan Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu 2 Juni, perusahaan milik konglomerat Martua Sitorus ini membukukan penjualan neto sebesar Rp1,10 triliun hingga akhir Maret 2021. Angka itu tumbuh 20,71 persen dari realisasi penjualan kuartal I-2020 senilai Rp915,78 miliar.
Pendapatan CEKA di sepanjang tiga bulan pertama 2021 meliputi penjualan domestik senilai Rp1,05 triliun dan penjualan ekspor Rp50,51 miliar. Keduanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 20,55 persen dan 24,40 persen di kuartal I 2021.
Meski demikian, meningkatnya penjualan neto berkontribusi terhadap membengkaknya beban pokok penjualan Wilmar di kuartal pertama tahun ini. Tercatat, beban pokok penjualan perseroan meningkat 25,37 persen dari semula Rp810,71 miliar di kuartal I 2020 menjadi Rp1,01 triliun pada periode yang sama tahun ini.
BACA JUGA:
Alhasil, laba bruto Wilmar mengalami penurunan 15,15 persen menjadi Rp89,14 miliar di kuartal I 2021. Padahal pada periode sama tahun lalu, Wilmar masih mengantongi laba bruto hingga Rp105,06 miliar.
Wilmar pun tak bisa menghindari peningkatan pengeluaran pada sejumlah pos beban. Seperti misalnya beban penjualan yang tercatat naik 20,43 persen menjadi Rp22,62 miliar di akhir Maret lalu.
Meskipun begitu, beban umum dan administrasi tercatat menyusut 10,38 persen dari semula Rp11,82 miliar di kuartal I 2020 menjadi Rp10,59 miliar di periode sama tahun ini.
Sehingga, produsen minyak goreng Sania dan Fortune ini hanya dapat menorehkan laba periode berjalan senilai Rp49,06 miliar. Torehan tersebut menyusut 26,05 persen dibandingkan laba periode berjalan kuartal I 2020 sebesar Rp66,35 miliar.
Wilmar bergerak dalam bidang produksi minyak nabati dan khusus yang digunakan dalam industri makanan dan perdagangan umum, termasuk ekspor dan impor.
Martua Sitorus, sang pemilik, adalah orang terkaya nomor 12 di Indonesia versi Forbes per Desember 2020. Kekayaannya mencapai 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp29 triliun.