JAKARTA - PT Waskita Karya Tbk mengalami kerugian hingga Rp7,3 triliun. Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi menyoroti hal tersebut. Ia menyayangkan kondisi ini, alih-alih menghasilkan profit dan membagikan dividen untuk pemegang saham, Waskita malah menghasilkan kerugian.
Kata Baidowi, selain mengalami rugi besar, dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2020, Waskita juga terlilit utang Rp89,011 triliun dan beban bunganya Rp4,7 triliun. Sekarang Waskita malah menargetkan penerimaan pendanaan sebesar Rp15,3 triliun dari pinjaman perbankan maupun penerbitan obligasi atau sukuk.
Menurut Baidowi, pinjaman ini perlu dipertimbangkan lagi, dihitung secara cermat, agar perseroan tidak gagal bayar utang dan memastikan kerugian sebelumnya tidak terulang lagi.
"Langkah lainnya yang perlu dilakukan Waskita adalah membuat skema ulang bisnisnya. Selain proyek jangka panjang, Waskita juga perlu membuat portofolio proyek dalam jangka menengah dan pendek. Ini penting dilakukan agar saat menghadapi situasi seperti pandemi COVID-19 yang membuat ekonomi kita shock, Waskita tidak mengalami kerugian," katanya di Jakarta, Rabu, 28 April.
Berdasarkan Laporan Keuangan PT Waskita Karya periode 2015-2020, laba bersih PT Waskita tahun 2017 naik signifikan dari Rp1,8 triliun menjadi Rp4,2 triliun atau tumbuh 133,3 persen di saat yang bersamaan PT Waskita Karya pada saat itu mengalami sentimen negatif karena runtuhnya tiang tol proyek tol Becakayu.
"Di sini mulai terlihat profitabilitas tidak berkorelasi dengan kualitas dan keamanan proyek konstruksi. Biaya operasional antara 2016-2017 tumbuh 80,3 persen tidak berbanding dengan kenaikan laba bersih 133,3 persen," tuturnya.
Sementara itu, kata Baidowi, pengembangan bisnis yang paling signifikan memengaruhi laba tahun 2017 berasal dari kontrak investasi jalan tol yang dilakukan melalui anak usaha (69 persen), lalu kontrak dari BUMN dan BUMD (16 persen), pemerintah (10 persen), dan swasta (5 persen). Sementara itu hampir sebagian besar anak usaha Waskita yang bergerak di bidang tol mengalami kerugian di 2017.
Misalnya, PT Waskita Transjawa Toll Road rugi Rp412 miliar, PT Cimanggis Cibitung rugi Rp23,9 miliar, PT Trans Jabar tol rugi Rp1,1 miliar, PT Pejagan Pemalang Tol Road rugi Rp151 miliar. Anak usaha jalan tol yang untung PT Pemalang Batang Tol Road Rp928 juta bahkan tidak sampai Rp1 miliar.
Bahkan, kata Baidowi, hal itu itu diperparah dengan kerugian dari anak usaha PT Waskita Toll Road tahun 2017 naik dari Rp85,2 miliar menjadi Rp352 miliar di saat perusahaan induk mencetak laba yang tinggi.
"PT Waskita Toll Road adalah entitas anak usaha dengan kepemilikan langsung terbesar PT Waskita Karya. Ini artinya tidak ada korelasi antara kontrak investasi jalan tol yang disebut sebagai sumber pendapatan perusahaan sementara anak usaha tol-nya mengalami kerugian yang naik pada periode sama," ucapnya.
BACA JUGA:
Terkait utang, terjadi pelunasan utang obligasi tahun 2017 senilai Rp1,17 triliun padahal sebelumnya di 2016 tidak ada pelunasan utang dari obligasi. Sementara penerbitan obligasi tahun 2017 nilainya Rp4,6 triliun atau naik hampir dua kali lipat dibanding 2016 (Rp2,9 triliun). Meskipun sebagian untuk membayar utang obligasi di tahun yang sama, masih ada selisih Rp3,43 triliun.
"Jumlah penerbitan utang yang besar dalam satu periode laporan keuangan. Sementara itu, kas dan setara kas terhadap total utang jangka pendek pun menyusut, indikasi manajemen utang yang mulai tidak sejalan dengan ketersediaan cashflow perusahaan," katanya.
Kemudian, Waskita mulai berusaha dinaikkan pada 2018-2019 tapi risikonya menjadi masalah pada 2020 di mana rasio kas dan setara kas terhadap utang jangka pendek langsung turun ke 2,51 persen. Kenaikan profitabilitas diasosiasikan dengan revaluasi aset tidak tepat. Pada 2017 surplus revaluasi aset tetap hanya Rp2,3 miliar.
Lebih lanjut, Baidowi mengatakan angka ini memang naik dari sebelumnya defisit Rp4,5 miliar. Tetapi surplus dianggap tidak berkontribusi signifikan ke laba perusahaan. Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi sehingga membuat BUMN karya ini merugi bukan hanya total utang yang naik, karena sudah terjadi sejak 2015, rasio utang terhadap modal saat itu 212,3 persen.
"Masalahnya ada pada pengelolaan arus kas atau likuiditas jangka pendek. Ini perlu diklarifikasi oleh Waskita, apakah profit yang dihasilkan hanya di atas kertas bukan penerimaan dalam bentuk cash ke perusahaan? Atau apakah ada dugaan skandal di balik kerugian Waskita itu?," tuturnya.