JAKARTA - Salah satu perusahaan tekstil di Daerah Otonomi Xinjiang, China, mengalami kerugian hingga 400 juta yuan atau sekitar Rp895,8 miliar sebagai dampak dari sanksi yang dijatuhkan pemerintah Amerika Serikat sejak Desember 2020.
"Semua order berkurang. Kami rugi 400 juta yuan," kata GM Huafu Textile Co Ltd, Li Qiang, dikutip dari Antara, Rabu 21 April.
Huafu termasuk salah satu dari beberapa perusahaan di Xinjiang yang terkena sanksi oleh Kementerian Perdagangan AS terkait isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur.
Li membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa 5.000 karyawannya, termasuk 80 persen di antaranya beretnis Uighur, mendapatkan gaji 3.500-4.000 yuan (Rp7,8 juta - Rp8,9 juta) per bulan. Upah standar pekerja di Aksu hanya 1.600 yuan per bulan.
Sekitar 2.000 karyawannya tinggal di mes yang dibedakan kamarnya antara pekerja pria dan pekerja wanita tanpa dipungut biaya.
"Karyawan kami yang suami-istri sewa rumah di sekitar sini," kata Li.
Di areal perusahaannya juga disediakan kantin halal dan lapangan olahraga khusus untuk para karyawannya.
Dalam menjalankan usahanya, Huafu mengoperasikan mesin pemintal benang dengan menerapkan sistem kerja karyawan tiga jadwal kerja sehari, masing-masing delapan jam. Lima hari kerja dalam sepekan.
BACA JUGA:
Sebelum terkena sanksi, Huafu menjadi pemasok utama merek pakaian jadi ternama berjaringan global, seperti H&M, Uniqlo, Adidas, Nike, dan Zara.
Produk bahan pakaian jadi Huafu diekspor ke Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan dengan kapasitas ekspor mencapai 100.000 ton per tahun senilai 3 miliar yuan.
"Sejak sanksi tersebut, kami sekarang lebih fokus pada pasar domestik," kata Li.
Pazilia Tursun (27), operator mesin pemintalan benang Huafu, mengaku senang bekerja di perusahaan tersebut.
"Kalau disuruh kerja paksa, tidak mungkin saya dan teman-teman bertahan di sini," ujar perempuan beretnis Uighur yang bekerja di Huafu sejak 2015 itu.