Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025, sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara.

Namun, keputusan ini diprediksi dapat memengaruhi daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah, yang berpotensi memperlambat laju konsumsi rumah tangga dan mengganggu pertumbuhan ekonomi domestik.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terjadi pada 2022 lalu memang memberikan tambahan signifikan terhadap penerimaan negara.

Namun, Yusuf menyampaikan, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, perubahan tarif ini juga memiliki potensi dampak negatif yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional, terutama pada kelompok masyarakat tertentu.

"Kenaikan tarif PPN ini juga bisa memberikan dampak yang sifatnya kontradiktif artinya kenaikan tarif pada momentum yang kurang tepat justru akan memberikan Efek tekanan terhadap perekonomian itu sendiri," ujarnya kepada VOI, Kamis, 28 November.

Menurutnya, kenaikan tarif PPN di saat yang kurang tepat bisa menambah tekanan terhadap perekonomian. Salah satunya adalah dampak terhadap daya beli masyarakat.

Yusuf menjelaskan, pada saat inflasi sedang meningkat, beban tambahan dari kenaikan PPN dapat memperburuk kondisi kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang memang belum banyak menerima bantuan dari pemerintah.

"Kenaikan tarif PPN itu bisa memberikan dampak ke daya beli masyarakat ketika tekanan dari perubahan inflasi terjadi. Apalagi jika tekanan inflasi ini terkena pada kelompok kelas yang secara umum belum banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam hal ini misalnya kelompok menengah ke bawah," jelasnya.

Yusuf menyampaikan jika kelompok tersebut terdampak dari kenaikan PPN maka akan ada penyesuaian konsumsi sebagai respon terhadap perubahan sehingga akan ikut mempengaruhi perubahan konsumsi rumah tangga secara umum.

Kata dia, perubahan konsumsi rumah tangga tersebut lantaran kelompok ini memegang proporsi sekitar 70 persen hingga 80 persen terhadap total konsumsi secara keseluruhan.

Yusuf menyampaikan, jika konsumsi rumah tangga terdistorsi dari dampak kenaikan PPN maka dampaknya bisa meluas, memengaruhi seluruh sektor ekonomi domestik, termasuk capaian target ekonomi yang ingin dicapai pemerintah pada tahun-tahun mendatang.

"Kita paham bahwa konsumsi rumah tangga akan atau masih tetap menjadi post dengan kontribusi paling besar dalam perekonomian domestik. Ketika konsumsi rumah tangga ini kemudian terganggu atau melambat sudah tentu ini juga akan ikut memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum," tuturnya.

Yusuf menyampaikan dari data dalam dua hingga tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa meskipun konsumsi rumah tangga tetap tumbuh, namun laju pertumbuhannya relatif melambat.

Hal ini bisa diindikasikan oleh penurunan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya mendapat stimulus yang cukup dari pemerintah.