JAKARTA - Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus meyampaikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 akan sangat dapat berdampak ke berbagai perekonomian nasional.
"Kenaikan PPN (tarif single) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. Perlu dipertimbangkan skema multi tarif," ujarnya dalam keterangannya, dikutip Minggu 24 Maret 2024.
Ahmad menyampaikan secara makro, kenaikan PPN 12 persen akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relative lebih tinggi. Menurutnya, semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Disisi lain, seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.
Menurut Ahmad hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun.
Lantaran, ketika kenaikan PPN, Pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. Namun perlu dikalkulasi cost and benefitnya terhadap perekonomiandalam jangka pendek dan jangka panjang.
Ahmad menambahkan untuk meningkatkan penerimaan negara bisa tanpa menaikkan PPN menjadi 12 persen yaitu dengan memperluas tax base PPN, maka potensi penerimaan pajak akan semakin meningkat.
"Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru," jelasnya.
Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru,
Selain itu Ahmad menambahkan dengan ekstensifikasi penerimaan perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
"Ekstensifisikasi cukai juga direncanakan akan diterapkan pada tahun mendatang," pungkasnya.
Pic : Ilustrasi dari Antara