JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan Indonesia masih mengimpor bijih nikel dari negara tetangga.
Pasalnya, jelas Bahlil, Indonesia memiliki kebutuhan nikel sebesar 157 juta ton dan impor yang dilakukan baru sebatas mendatangkan limonit atau nikel berkadar rendah sebesar 2 kapal.
"Baru dua kapal dan itu pun limonit. Impor itu sebenarnya enggak haram," ujar Bahlil kepada awak media sat ditemui di Balai Kartini, Senin, 25 November.
Bahlil bilang, sebagai negara industri nikel, impor bahan baku seperti nikel bukanlah sesuatu hal yang dilarang.
Pasalnya, nikel yang diimpor tersebut akan digunakan sebagai baahan baku smelter untuk menghasilkan ferronikel atau nikel matte.
"Impor itu sebenarnya enggak haram, untuk memenuhi stok bahan baku dia kan, gak apa-apa," sambung Bahlil.
Mantan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ini mengatakan, praktik impor nikel ini sah-sah saja dilakukan, asalkan tidak menaikkan RKAB atau Rencana Kerja dan Anggaran Biaya secara berlebihan.
Jika hal ini dilakukan, hal ini dapat menyebabkan penurunan harga nikel karena melebihi kapasitas permintaan pasar. Akibatnya, hal ini dapat merugikan penambang lokal dan pemilik smelter.
"Bayangkan kalau saya naikkan RKAB-nya melebihi dari batas kepasitas permintaan, harga jatuh. Masa hanya kepentingan satu-dua perusahaan kemudian merusak tatanan saudara-saudara kita yang punya tambang," beber Bahlil.
BACA JUGA:
Sementara terkait data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan RI mengimpor nikel ore, Bahlil bilang, hal itu sah-sah saja selama belum melampaui 10 persen produksi nasional.
"Enggak apa-apa. Belum sampai 10 persen. Barang gahar. Enggak dilarang. Saya takut barang yang dilarang," tandas Bahlil.