JAKARTA - Lithium Ferro-Phosphate (LFP) dan nikel atau Nickel Manganes Cobalt (NMC) menjadi komoditas yang digunakan sebagai bahan baku dalam industri baterai kendaraan listrik.
Kehadiran LFP ini digadang-gadang menjadi pesaing nikel, dan dianggap mengancam pasar hilirisasi nikel di Indonesia.
LFP ini menjadi perbincangan publik usai Co-Captain Timnas AMIN, Thomas Lembong atau Tom Lembon dalam podcast Total Politik mengungkapkan bahwa dunia tidak lagi akan bergantung kepada komoditas nikel.
Menurut Tom, pemerintah terlalu fokus pada kebijakan hilirisasi nikel tapi tidak memperhitungkan kondisi pasar. Kata dia, harga nikel memang sempat melambung tinggi. Akibat harga yang tinggi itu, produsen baterai kendaraan listrik pun mencari bahan baku alternatif yang kegunaanya serupa dengan nikel.
Bahkan, Tom bilang mobil listrik, Tesla yang diproduksi di China kini menggunakan 100 persen baterai LFP yang tidak mengandung nikel sama sekali.
“Jadi 100 persen mobil Tesla yang dibuat di Tiongkok menggunakan baterai yang mengandung 0 persen nikel dan 0 persen cobalt. Jadi baterainya namanya LFP,” ujar Tom.
Menanggapi ini, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menekankan bahwa Tesla masih menggunakan nikel sebagai bahan baterai mobil listriknya. Sementara, lithium hanya digunakan untuk mobil standar menengah dan rendah.
“LFP itu hanya dipakai oleh Tesla, oleh mobilnya yang standar karena kualitas jarak tempunya itu lebih bagus di nikel dan Tesla juga masih memakai baterai mobil yang berbahan baku nikel. Jadi jangan ‘omon-omon’ saja, bahaya negara kalau dibuat seperti ini,” katanya dalam konferensi pers, di Kantor BKPM, Jakarta, Rabu, 24 Januari.
Bahlil pun menilai wacana yang disampaikan Tom Lembong mengenai industri kendaraan listrik yang bermigrasi menggunakan LFP ketinbang NMC salah kaprah. Bahkan, cenderung mendiskreditkan upaya hilirisasi bijih nikel domestik.
“Ini sumber masalahnya, sumber polemik, saya ingin katakan tidaklah benar kalau ada mantan pejabat atau pemikir ekonomi atau siapa pun yang mengatakan bahwa nikel enggak lagi menjadi bahan yang dikejar-kejar oleh investor untuk membuat baterai mobil,” ucapnya.
Menurut Bahlil, baterai mobil listrik berbasis NMC yang dikembangkan di Indonesia tetap menjadi pilihan pasar dan industri kendaraan listrik internasional hingga saat ini. Sebab, NMC menawarkan ketahanan setrum yang kuat dibanding dengan LFP.
“Sekarang yang kita punya mobil listrik di Jabar, Bekasi yang orang antre 8 bulan itu baterai mobilya pakai NMC dan daya jangkaunya lebih jauh,” katanya.
BACA JUGA:
Bahlil juga bilang pemerintah telah mengamankan investasi baterai kendataan listrik di dalam negeri mencapai 42 miliar dolar AS atau sekitar Rp630 triliun dari program hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah.
Berdasarkan data BKPM, produsen baterai NMC saat ini berasal dari CALT, China; Samsung SDI, SK Innovation, Korea; Envision, Eropa; Northvolt, Eropa; Farasis, AS; Verkor dan PowerCo.
“Pabrikan mobil yang makai baterai NMC itu Tesla, Hyundai, VW, Ford, Volvo dan BMW,” ujar Bahlil.