Bagikan:

JAKARTA - Peneliti senior ekonomi politik dari LP3ES Fachry Ali mengatakan keputusan pemerintah untuk membentuk Kementerian Investasi, bisa diibaratkan negara sedang tersenyum lebar kepada para pemilik modal.

Dalam rapat paripurna pada Jumat, 9 April, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembentukan Kementerian Investasi. Keputusan ini merupakan tindaklanjut dari hasil keputusan Badan Musyawarah yang membahas surat dari Presiden Joko Widodo mengenai pertimbangan pengubahan kementerian.

"Terlihat sekali bahwa negara harus selebar mungkin tersenyum. Bukan kepada siapa saja, tapi pemilik modal. Senyum pengusaha harus disikapi teknikal. Apa yang diminta pengusaha ini harus dikabulkan," katanya dalam diskusi virtual, Sabtu, 10 April. 

Fachry mengatakan jika tidak seperti itu. Artinya, negara tidak mempermudah permintaan pemilik modal, maka negara akan kehilangan investor. Pada investor dapat dengan mudah mencari negara lain. 

"Kalau tidak senyum lebar ke pemilik modal, itu negara lain siap menerima. Kompetisi kita bukan hanya politikal domestik," jelasnya. 

Apalagi, kata Fachry, jika dilihat dari sisi ekonomi politik, pemerintah memang tengah menjajaki negosiasi kepada para pemilik modal untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Langkah ini mencerminkan bahwa kebutuhan terhadap modal masuk ke dalam negeri sangat tinggi. 

Saat ini, pemerintah menurutnya membutuhkan biaya di luar dari APBN untuk mendanai berbagai proyek. Salah satunya adalah infrastruktur, yang menjadi fokus pemerintah Presiden Joko Widodo di periode kedua ini. 

Menurut Fachry, beralihnya BKPM menjadi Kementerian Investasi merupakan konsekuensi struktural dari terbitnya Undang-udang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Dia mengatakan beleid ini mengatur berbagai hal, terutama kemudahan izin berusaha, dan memberikan dampak kualitatif terhadap laju investasi. Hadirnya UU sapu jagat ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia secara global. Sebab, Indonesia masih kalah dalam hal menggaet pemodal lantaran indeks kemudahan investasinya masih rendah. 

Dalam penilaiannya, pembentukan Kementerian Investasi tersebut bisa dinilai lebih berhasil bila realisasi modal masuk meningkat signifikan. Namun, bila peningkatan realisasi investasi hanya mencapai 15 persen, kebijakan mengubah nomenklatur tidak menjawab keinginan negara. 

"Kalau Kementerian Investasi sama saja dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ESDM, berarti tujuannya tidak sampai," ujar Fachry.