JAKARTA - Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara/BTN (Persero) Tbk Nixon LP Napitupulu menyampaikan fenomena akad Kredit Perumahan Rakyat (KPR) oleh perempuan yang semakin meningkat merupakan tren baru.
“Kita melihat bahwa satu trennya akad KPR yang dilakukan oleh perempuan makin hari makin meningkat. Ini tren baru sebenarnya,” katanya mengutip Antara.
Selama 74 tahun berdiri, pihaknya telah mengakadkan KPR sebanyak 5,5 juta dengan total penyaluran Rp461 triliun melalui pembiayaan rumah subsidi dan nonsubsidi, serta pembiayaan KPR konvensional dan syariah.
Adapun realisasi KPR per gender terdiri dari 67,5 persen laki-laki, dan 32,5 persen perempuan dengan realisasi penyaluran untuk gender yang disebutkan terakhir sejak tahun 2020 hingga 2024 sebanyak 173.476 unit atau sekitar Rp25 triliun.
“Jadi, kalau perempuan dulu beli rumah tergantung calon suami, sekarang mereka sudah membeli rumah sendiri. Ini adalah satu kemajuan,” ujar Nixon.
Mengenai realisasi KPR per usia, sebanyak 76,7 persen didominasi generasi milenial, dan 23,3 persen generasi lainnya. Hal ini dianggap menarik karena program perumahan menjadi program masa depan Indonesia.
Kemudian, realisasi KPR per pekerjaan sebanyak 90,3 persen dari sektor formal, dan sisanya dari informal yang menyalurkan Rp18 triliun.
“Memang, ini yang terus-menerus coba kami upayakan lebih baik lagi, sehingga sektor ini bisa jauh lebih cepat pertumbuhannya dibanding sektor formal,” katanya pula.
Lebih lanjut, Nixon menyatakan bahwa pihaknya telah mengakadkan KPR untuk berbagai kalangan di masyarakat. Mulai dari tukang sablon, driver ojek online, pegawai minimarket, marbot masjid, tukang tambal ban, guru, hingga tukang cukur rambut.
Pemerintah Indonesia disebut memiliki agenda besar untuk menumbuhkan perekonomian di Indonesia minimal 8 persen, serta mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga mencapai 0 persen. Salah satu cara yang dilakukan adalah melaksanakan program 3 juta rumah yang terdiri dari 2 juta rumah di pedesaan dan 1 juta rumah di perkotaan.
Upaya ini dilakukan dalam rangka mengatasi backlog kepemilikan rumah yang telah mencapai 9,9 juta rumah keluarga tidak atau belum memiliki rumah, serta lebih dari 50 persen masyarakat miskin tinggal di rumah tak layak huni. Selain itu, 24,6 juta rumah tangga yang memakai listrik 450 watt memiliki rumah dengan kondisi tak layak huni.
BACA JUGA:
Dia menyampaikan sejumlah isu sektor perumahan yang menjadi kendala. Mulai dari belum adanya pendataan kebutuhan by name by address yang telah didiskusikan dengan Menteri Sosial, agar ke depan dapat disediakan database bagi bank dan para pengembang, lalu penyerapan program kepemilikan rumah belum rata kepada semua jenis pekerjaan, terutama guru, pekerja informal, hingga TNI/Polri terkhusus yang memiliki pangkat rendah.
Tantangan lainnya adalah anggaran pemerintah daerah (pemda) terkait perumahan terbatas pada bantuan mengenai bencana; pemukiman kumuh tak termasuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kemudian, belum optimalnya kebijakan antara nasional dan daerah, hingga belum optimalnya sinkronisasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan pemda berkaitan dengan isu pertanahan serta perizinan.
“Berdasarkan pengalaman kami dalam menjalankan program perumahan, perizinan menjadi salah satu komponen penting yang harus mendapat perhatian, mengingat jumlah unit yang akan dibangun semakin lama semakin besar yang memerlukan kepastian waktu proses pengurusan perizinan di seluruh daerah. Saat ini, kami mendengar bahwa pengurusan perizinan masih belum dan belum satu pintu, sehingga menghambat pengembang dalam membangun perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),” ujar Dirut BTN itu pula.