Bagikan:

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan ada sejumlah masalah yang dihadapi dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Mulai dari jaringan hingga pendanaan.

Awalnya, Bahlil bilang pemerintah menargetkan bauran energi dari EBT mencapai 23 persen pada 2025. Namun, hingga semester I-2024 realisasinya baru mencapai 13,93 persen.

“Target kita di 2025 itu harus mencapai 23 persen dari total pemakaian listrik, sekarang baru sekitar 13 persen. Jadi terjadi defisit sekitar 8,1 gigawatt, setara dengan 8.100 megawatt,” katanya dalam acara Green Initiative Conference di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 25 September.

Bahlil mengatakan salah satu permasalahan dalam pengembangan EBT adalah jaringan transmisi. Dia bilang jaringan tersebut belum tersedia untuk menghubungkan sumber energi terbarukan dengan daerah konsumen.

“Panas bumi atau geotermal, kemudian angin, air, itu ada betul sumbernya, tetapi jaringannya belum ada,” tuturnya.

Bahlil menilai jika dipaksakan membangun pembangkit di sumber-sumber EBT tanpa perencanaan yang tepat, maka menjadi tidak efisien. Sebab, tidak ada jaringan yang menghubungkan dengan konsumen.

“Jadi kalau kita paksa, PLN atau swasta membangun power plant-nya, ini mau jual ke mana? Karena enggak punya jaringan,” ujarnya.

Bahlil mengungkapkan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan memetakan lokasi dari sumber-sumber energi terbarukan dan membangun jaringannya.

Lebih lanjut, Bahlil bilang permasalahan lain dari pengembangan EBT yakni nilai investasi yang tidak murah. Pembangunan jaringan transmisi atau super grid tersebut membutuhkan biaya yang besar.

“Ini investasinya enggak sedikit lho. Ratusan triliun rupiah untuk menghubungkan sumber-sumber daripada energi baru terbarukan kita,” ucapnya.

Selain itu, sambung Bahlil, pembangunan pembangkit energi terbarukan juga membutuhkan biaya yang besar karena menggunakan teknologi terbaru.

Bahlil bilang dengan tingginya biaya investasi yang dibutuhkan dalam pengembangan EBT, maka harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBT pun akan jauh lebih mahal dibanding yang dihasilkan dari pembangkit berbasis fosil atau batu bara.

“Investasi di PLN yang paling mahal itu capex-nya untuk 1 MW (listrik dari pembangkit EBT) mencapai sekitar 6 juta dollar AS, sementara batu bara itu di bawah 1 juta dolar AS. Jadi hampir 6 kali lipat. Makanya wajar kemudian kalau batu bara itu harganya hanya sekitar 4 hingga 5 persen,” ucap Bahlil.

Karena itu, sambung Bahlil, pemerintah berupaya membuat skema yang tepat agar PLN tidak terbebani dengan biaya investasi yang mahal. Selain itu, agar harga jual listrik dari pembangkit EBT juga tidak terlalu mahal dan tidak membebani anggaran negara.

Bahlil mengatakan pada dasarnya butuh komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk bisa menjalankan transisi energi. Sehingga Indonesia bisa mencapai target emisi nol atau net zero emission (NZE) di 2060.

“Jadi untuk mendorong ke energi baru terbarukan, ini butuh komitmen yang kuat. Tidak hanya sekedar omon-omon. Percaya sama saya, sampai ayam tumbuh gigi, kalau cuma kita bicara tentang konsep business as usual, enggak akan pernah terwujud kalau enggak ada komitmen yang kuat,” jelasnya.