Bagikan:

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menawarkan peluang kolaborasi energi baru dan terbarukan (EBT) kepada Tiongkok.

Tawaran ini atas dasar besarnya potensi sumber daya EBT yang dimiliki oleh Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kayan berkapasitas 13.000 MW dan Mamberamo, Papua berkapasitas 24.000 MW.

“Ini sebuah potensi yang kita tawarkan ke Tiongkok untuk bisa berkolaborasi bersama. Ini tidak mungkin kita lakukan sendiri,” ujar Bahlil dalam ajang The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF), Selasa, 3 September.

Dikatakan Bahlil, Indonesia menyatakan komitmennya menjaga stabilitas investasi Tiongkok di tanah air agar tetap berjalan dengan baik.

“Saya tawarkan kepada teman-teman investor Tiongkok beberapa potensi yang dapat kita kembangkan bersama. Di sinilah pertemuan untuk menemukan formulasi yang tepat dalam rangka pengembangan bisnis bersama,” kata Bahlil.

Sektor energi, sambung Bahlil, memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan perekonomian dan kemajuan teknologi antarkedua pihak.

“Kami berkomitmen memajukan tujuan bersama yang mencakup pengembangan energi berkelanjutan, inovasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

Bahlil menambahkan, aspek lain yang menjadi fokus pemerintah di masa mendatang adalah keberadaan hilirisasi yang berorientasi green energy dan green industry.

“Kunci dari implementasi kebijakan ini adalah keberadaan listrik,” tambah Bahlil.

Untuk itu, berdasarkan roadmap transisi energi, pemerintah Indonesia menerapkan strategi menuju karbon netral dari sisi suplai, seperti fokus pada pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, dan hidrogen.

Di samping itu, langkah lain yang diambil adalah penghentian pembangkit listrik batubara secara bertahap, dan penggunaan teknologi rendah emisi, yaitu teknologi CCS/CCUS.

Sementara dari sisi demand, antara lain pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemanfaatan biofuel, dan penerapan manajemen energi.

Bagi Indonesia, kata Bahlil, kemampuan mencapai NZE di tahun 2060 harus tetap mempertimbangkan konteks dan kondisi nasional di masing-masing negara. Misalnya, Indonesia masih mengoptimalkan pengembangan energi fosil selaras dengan kemajuan masif pembangunan infrastruktur energi bersih.

“Kita sedang mengkaji, memperhitungkan, dan mengkalkulasi tentang kebutuhan (energi) dalam negeri dengan geopolitik ekonominya,” ungkap Bahlil.

Ia meyakini, kerja sama dan program yang telah dihasilkan di bawah kerangka bilateral Indonesia – Tiongkok terus menunjukkan progres yang signifikan.

“Tidak perlu ada keraguan dalam kebersamaan (kerja sama) ini. Saya yakin yang pertama dalam investasi adalah nyaman. Dan Indonesia menawarkan rasa kenyamanan itu,” tegas Bahlil.