JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta direktur jenderal (Dirjen) di Kementeriannya untuk tidak terburu-buru melakukan ekspor listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Padahal, kata dia, EBT RI menjadi primadona di kawasan Asia Tenggara karena seluruh dunia sedang mengejar manufaktur yang berorientasi padaEBT dan green industry. Tak hanya itu, RI juga memiliki potensi besar EBT serta penyimpanan karbon yang tidak dimiliki negara lain.
"Maka saya udah perintahkan ke Dirjen Gatrik dan Dirjen EBTKE agar jangan buru-buru untuk kita mau dengan mudah lakukan proses ekspor EBT," ujar Bahlil dalam sambutannya pada agenda Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-10 di Jakarta Convention Center (JCC) Rabu, 18 September.
Menurutya, meskipun sepakat untuk mengekspor listrik hijau ke negara tetangga namun harus mementingkan kebutuhan dalam negeri dengan baik.
Jika RI bisa mengatur kebutuhan listrik EBT dan pasokannya di dalam negeri, lanjut Bahlil, ia optimis industri manufaktur dunia akan masuk ke Indonesia. Dengan besarnya potensi di dalam negeri, ia juga menekankan pentingnya Indonesia untuk selektif dalam memilih partner investasi.
"Yang namanya cewek cantik itu Pak, pasti banyak rayuan. Tapi usahakan kita harus menjadi cewek cantik yang berkarakter. Jangan cewek cantik yang gampang dibelai oleh orang-orang yang tidak jelas," sambung dia.
BACA JUGA:
Di sisi lain Bahlil juga bilang RI memiliki potensi kapasitas listrik hingga 93 GW, sementara potensi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) mencapai 24 GW.
Adapun 40 persen potensi panas bumi dunia ada di Indonesia. Namun, saat ini Indonesia baru memiliki kapasitas PLTP sebesar 2,6 GW.
Bahlil memastikan Indonesia akan memanfaatkan sumber energi dari panas bumi untuk mendorong tercapanya target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025.
“Energi panas bumi dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional,” tandas dia.