Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengungkapkan hasil riset yang dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah yang menjadi basis investasi tambang naik secara signifikan. Meski demikian, kenaikan pertumbuhan ekonomi ini tidak disertai dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Ia mencontoh di wilayah Halmahera, Maluku, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 hingga 2023 berkisar antara 20-25 persen. Angka ini jauh di atas rerata pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh 5-6 persen.

"Tetapi di daerah-daerah itu, angka kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan itu naik signifikan," ujar Komaidi dalam Detik Leaders Forum, Selasa, 17 September.

Dikatakan Komaidi, dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terdapat 4 indikator antara lain konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi perusahaan, dan nilai ekspor neto.

"Paling besar itu adalah dari komponen investasi swasta, atau pembentukan modal bruto tetap," imbuh dia.

Berdasarkan data yang dimiliki, Komaidi mencatat dalam 3 tahun terakhir, Penyertaan Modal Asing (PMA) sebesar 60 persen berada di luar Jawa dan hanya berpusat di wilayah dengan basis-basis smelter itu.

"Nah artinya apa? Artinya kue-kue ekonomi yang naik signifikan tadi, itu tidak kembali ke masyarakat setempat," beber dia.

Untuk itu ia meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera melakukan intervensi agar dampak hilirisasi juga bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar.

"Kalau ini tidak dilakukan interferensi ini akan menjadi bom waktu karena kemudian di daerah merasa ini kekayaan alam kami dikerok tapi kami nggak dapat apa-apa, saya kira ini problem yang sangat mendasar," tandas Komaidi.