Bagikan:

JAKARTA - Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) menyatakan menolak skema sewa jaringan listrik atau Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena dinilainya tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan.

Ketua DPP SP PT PLN (Persero) Abrar Ali dalam keterangan di Jakarta, Kamis, 12 September, menjelaskan alasan penolakan tersebut, dimana pertama, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

Dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih ke swasta.

Kedua, lanjut Abrar Ali, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 36/2012 yang menyebutkan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.

"Ketiga, Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema tersebut juga inkonstitusional, dan harus ditolak," katanya, dikutip dari Antara.

Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.

Menurut Abarar, hal yang sama juga bila ditinjau dari sisi aspek ekonomi dan sosial politik, skema tersebut sangat merugikan masyarakat.

“Pada Putusan MK No.001-021-022/PUU-I/2003, menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi," jelasnya.

Abrar mengungkapkan, penerapan skema PBJT jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat. Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT tersebut juga sudah banyak dilakukan.

Ia mengingatkan bahwa dalam membuat undang-undang, ada sejumlah aspek yang harus dilalui yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Proses pembentukan UU EBET juga harus mengikuti tahapan ini dengan memuat azas-azas keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas dan partisipasi publik, agar sesuai aturan hukum dan konstitusi.

“Karena itu, baiknya soal pengesahan RUU EBET tersebut ditunda dulu sampai benar-benar meyakinkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan karena kepentingan sesaat atau suatu kelompok segala cara dihalalkan,” ungkap Abrar.

Sebelumnya, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi memandang skema sewa jaringan listrik dalam RUU EBET bukan merupakan bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional, melainkan bertujuan mengoptimalkan distribusinya dengan harga lebih terjangkau, serta meningkatkan bauran energi terbarukan.

"Kalau ada sumber resource yang mau menjual ke konsumen PLN tidak boleh, di wilayah usaha PLN ini tidak boleh, lalu menjual ke wilayah usaha lain langsung ke pelanggan tidak boleh. Jadi untuk market yang bebas ke bapak ibu rumah tangga itu kita belum ke sana," kata Eniya Listiani Dewi dalam acara temu media di Jakarta, Senin 9 September.