Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, skema power wheeling atau sewa jaringan dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dapat menggerus APBN.

Adapun saat ini pembahasan RUU EBET yang sempat tertunda kembali dibahas di Komisi VII DPR RI.

Salah satu penyebab penundaaan pembahasan RUU EBET itu adalah adanya perbedaan pendapat antar pihak terkait pasal power wheeling.

"Bahkan pasal tersebut sudah didrop pada awal 2023, namun dimunculkan lagi 3 bulan berikutnya, yang saat ini sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi," ujar Fahmy, Sabtu, 7 September.

Fahmy menjelaskan, power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.

Adapun harga sewa penggunaan jaringan transmisi dan distribusi ditentukan oleh pemerintah.

Dikatakan Fahmy, mengizinkan IPP menjual listrik secara langsung kepada konsumen sesungguhnya merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi itu, di antaranya: UU No.30/2009 tentang ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 dan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

"Membuka akses power wheeling ke wilus baik wilus-PLN maupun wilus-non-PLN industri, justru akan menggerus pendapatan PLN lantaran 90 persen pendapatan PLN berasal dari pelanggan industri," kata dia.

Selain menggerus pendapatan PLN, Fahmy juga menyebut skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) bersifat intermittent yang dipengaruhi matahari dan angin.

Nantinya peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN.

"Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi PLN sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis Presiden terpilih Prabowo Subiyanto, termasuk program makan bergizi gratis. Berhubung power wheeling melanggar konstitusi, mengurangi pendapatan PLN, dan menggerus APBN, maka pasal power wheeling harus didrop dari RUU EBET sebelum disyahkan," pungkas Fahmy.