Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) menyampaikan, ada pihak yang tidak setuju dengan upaya Indonesia dalam meningkatkan kemandirian industri farmasi, termasuk bahan baku obat (BBO) dan vaksin dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) FX Sudirman menyebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk kemandirian farmasi, meskipun masih perlu dikembangkan secara bertahap.

"Tujuan kami untuk mandiri yang nggak setuju adalah para pelaku multinasional company. Tetapi menurut saya kami nggak perlu takut, yang mana ada kemauan pasti ada jalan," kata Sudirman dalam agenda Seminar Nasional bertajuk 'Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian Bahan Baku Obat dan Vaksin di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa, 10 September.

Sudirman bilang, potensi besar industri farmasi nasional juga sempat disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam forum investasi di Bali beberapa waktu lalu.

Hingga saat ini, tercatat baru ada 11 pabrik BBO dalam negeri, 50 pedagang besar bahan baku farmasi, 237 industri, 2.500 pedagang besar farmasi, 40.000 sarana kesehatan dan pasien 281 juta jiwa.

"Kalau di total secara ekonomi cukup besar, mungkin bisa mencapai 11 miliar dolar AS per tahun. Pangsa pasarnya worth it untuk diambil, diserang atau diakuisisi oleh negara-negara lain," ucapnya.

Di samping itu, Sudirman menyoroti pekerjaan rumah (PR) Indonesia untuk meningkatkan posisi ketahanan kesehatan yang saat ini masih berada di peringkat 85 negara dari 195 negara dalam kesiapan menghadapi ancaman kesehatan global, berdasarkan Global Health Security Index.

"Artinya dari sektor sistem kesehatan Indonesia masih perlu meningkatkan kemampuan dalam hal ketersediaan obat dan BBO farmasi. Enggak mudah karena ini tantangan besar untuk Indonesia," ujar dia.

Terlebih, industri BBO merupakan infant industries atau industri yang baru berkembang di Indonesia dan belum memilih kemampuan untuk bersaing dengan industri yang lebih matang, terutama pemain global.

Di sisi lain, kata dia, Indonesia masih ketergantungan impor BBO sebesar 90 persen.

Bahkan, untuk produk setengah jadi atau intermediate 100 persen masih impor dari China.

Sudirman juga menyoroti ekosistem Research & Development (R&D) yang belum terintegrasi.

Sebagian pelaku usaha juga disebut masih kelimpungan dengan regulasi yang kompleks.

Dalam hal ini, proses sertifikasi yang seringkali panjang dan rumit sehingga menjadi penghambat bagi pertumbuhan industri.

"Indonesia sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 6 tahun 2016 banyak sekali insentif untuk industri farmasi dan alat kesehatan. Tapi, nggak banyak yang bisa menikmati. Misalnya tax holiday, super tac deduction, kemudian insentif fiskal lainnya nggak banyak yang bisa memanfaatkan karena terlalu rumit," imbuhnya.