Anggota DPRD dan Himpunan Petambak Jatim Desak Khofifah Tolak Impor Garam
ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

SURABAYA - Anggota Komisi B (perekonomian) DPRD Jawa Timur, Ahmad Athoillah, mendesak Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menolak impor 3 juta ton garam. Pernyataan ini menanggapi rencana pemerintah yang akan mengimpor garam ke Indonesia.

"Kami minta Bu Gubernur menolak rencana impor garam itu. Kasian petani garam lokal, bisa tidak terserap," kata Mas Atho, sapaan akrabnya, dikonfirmasi, Senin, 29 Maret. 

Mas Atho' menyayangkan sikap pemerintah yang kerap menjadikan impor, sebagai solusi memenuhi kebutuhan garam. Seharusnya, kata dia, pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi, serta memaksimalkan serapan garam lokal. "Sehingga ke depannya tidak terus menerus ketergantungan pada garam impor. Bukan justru melulu menjadikan impor sebagai solusi," jelasnya.

Menurutnya, pemerintah harus berupaya agar serapan garam rakyat bisa maksimal. Misalnya dengan memberikan fasilitas bagi petani garam, sehingga produksi mereka meningkat dan berkualitas. 

"Pemerintah wajib memfasilitasi petani untuk maksimalkan produksi garam, sehingga kedepan sudah tidak ada lagi ketergantungan impor," kata politikus asal Jombang itu.

Pernyataan yang sama disampaikan Ketua Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Jatim, M. Hasan, yang mendorong pemerintah penyerapan garam rakyat. Sebab, kata Hasan, stok garam nasional yang belum terserap pasar maupun industri mencapai 1,2 juta ton, hasil produksi sejak 2019-2020.

"Kalau impor dilakukan, maka bisa dipastikan garam lokal tidak terserap. Jika minim penyerapan, harga garam juga anjlok. Harusnya pemerintah mengintervensi dulu penyerapan garam rakyat, mematok harga layak, dan melakukan monitoring stok," jelas Hasan.

Dari jumlah 1,2 juta ton itu, lanjut Hasan, stok garam di Jatim mencapai 600.000 ton. Menurutnya, kuota impor garam dari tahun ke tahun terus meningkat. Sementara harga garam rakyat saat ini di kisaran Rp300 - Rp350 per KG di tingkat petani. 

"Harga itu jauh dari tahun-tahun sebelumnya yang bisa di atas Rp 1.000 per KG. Kebijakan ini sudah pasti membuat petambak garam, dan target swasembada garam gagal dilakukan pemerintah," katanya.

Menurut Hasan, HMPG pernah menjamin mutu garam akan meningkat dengan teknologi geo-membran dan harus dengan Harga Pokok Petani (HPP) sebesar Rp1.500 per KG. Namun, kata dia, tidak pernah terealisasi dan berakibat jumlah petambak garam menurun.

Hingga saat ini, lanjut Hasan, ada sekitar 10 sampai 15 persen dari total luas lahan garam nasional yang mencapai 26.000 hektare. Sementara di Jatim luas lahan mencapai 11.000 hektare sudah tidak produksi. Akibatnya, produksi garam nasional turun akibat cuaca yakni mencapai 1,7 juta ton, dan khusus Jatim 900.000 ton pada 2020.

"Tidak menutup kemungkinan produksinya naik menjadi 3 juta ton secara nasional jika tahun ini cuaca bagus. Di Jatim proyeksinya bisa mencapai sekitar 1,2 juta ton," kata Hasan.