Bagikan:

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menilai deflasi yang terjadi pada tiga bulan berturut-turut pada Mei hingga Juni 2024 bukan tanda terjadinya perlambatan daya beli hingga resesi ekonomi.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia (BI) ⁠Juli Budi Winantya menjelaskan, deflasi yang terjadi beberapa bulan terakhir dipengaruhi oleh penurunan inflasi pada komponen volatile food atau harga pangan bergejolak, di mana komponen ini terkoreksi hingga dibawah 5 persen dibandingkan dari bulan-bulan sebelumnya yang sempat mencapai 9 persen.

“Kalau terkait daya beli segala macam itu dikaitkan dengan inflasi inti, tapi dalam pres conference kemarin inflasi inti kalau kami lihatnya dari ekspektasi yang terjaga, dari kapasitas perekonomian yang masih cukup dan dari imported inflation yang terkendali,” ujar Juli dalam taklimat media di Bali, dikutip Senin, 26 Agustus.

Sementara itu, Asisten Gubernur BI Erwin Haryono menjelaskan bahwa deflasi yang terjadi pada tiga bulan-bulan berturut-turut dipengaruhi oleh komponen inflasi harga pangan gejolak yang terkontraksi.

Menurut Erwin, pada momen-momen sebelumnya inflasi harga pangan bergejolak sempat mencatatkan angka yang begitu tinggi sehingga menyebabkan harga pangan naik dan sempat mengindikasikan terdakat kedaruratan pangan.

“Itu kan kemarin banyak soal darurat pangan, harga naik, hidup susah karena beli makanan mahal, tapi itu turun dengna konsisten dan itu yang menyebabkan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu deflasi,” ujar Erwin.

Erwin menegaskan saat ini pihaknya tetap mewaspadai dinamika perekonomian domestik dan global yang terjadi, terutama terkait besaran inflasi.

Meski demikian, Erwin menjelaskan terkait deflasi yang terjadi beberapa bulan berturut-turut bahwa hal itu terjadi akibat komponen volatile food yang terkoreksi.

“Namun bukan berarti kami tidak memperhatikan ini, kami terus memperhatikan ini tapi indikator-indikator IHK sejauh ini komponen-komponennya menunjukan penruann yang lebih besar di volatile food,” pungkas Erwin.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Juli 2024 di Indonesia terjadi deflasi sebesar 0,18 persen secara month to month (mom) dibandingkan bulan sebelumnya. Angka deflasi pada Juli itu menjadi yang terdalam dalam rentetan beruntun tiga bulan terakhir. Pada Mei lalu, deflasi tercatat sebesar 0,03 persen, lalu berlanjut pada Juni sebesar 0,08 persen.

Adapun, BPS mencatat deflasi beruntun hingga tiga bulan berturut-turut ini bukan pertama kali ini terjadi. Dimana Indonesia pernah mencatat deflasi tiga bulan beruntun saat pandemi Covid-19 membuat perekonomian mati suri.

"Ini sebenarnya pernah terjadi pada Juli-September 2020. Jadi, [deflasi tiga bulan beruntun] ini bukan hal yang pertama kali. Deflasi Juli disumbang oleh volatile food," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

Meski demikian Amalia enggan untuk menyebut bahwa deflasi yang terjadi secara beruntun dalam tiga bulan terakhir sebagai indikasi pelemahan daya beli masyarakat.

"Untuk menyimpulkan apakah deflasi merupakan indikator lesunya daya beli masyarakat, harus hati-hati, harus ada analisa lebih lanjut," kata Amalia.

Amalia menjelaskan, penurunan harga yang terekam dalam angka deflasi tersebut belum tentu menandakan penurunan daya beli masyarakat. Lantaran, kondisi pasokan pasar saat ini melimpah sehingga menyebabkan penurunan harga pasokan.

"Tidak bisa serta merta menyimpulkan ada penurunan daya beli karena ada deflasi," ujar Amalia.