Bagikan:

JAKARTA - Perusahaan Umum (Perum) Bulog ungkapkan kenaikan harga beras beberapa waktu belakangan ini disebabkan karena tingginya harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani.

Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita menjelaskan saat ini harga ini harga gabah sudah mencapai Rp7.000 per kg atau diatas harga pembelian pemerintah (HPP) yakni sebesar Rp6.000/kg. Sehingga pihaknya saat ini masih hanya dapat produksi beras premium.

"Karena memang kalau harga gabah Rp7.000-Rp6.800 kita kali dua aja kalau mau jadi beras. Padahal kita harus packing dan lain lain, proses, belum lagi yang lainnya," jelasnya usai acara Fun Morning Bulog, Minggu, 4 Agustus.

Febby menjelaskan harga beras ditentukan berdasarkan dua kali harga GKP sehingga jika harga gabah sudah tinggi maka harga beras akan mengikuti dan saat ini HPP gabah sudah di atas harga normal.

"Karena sekarang gabah kering panen juga tinggi, walaupun ada panen," ucap Febby.

Menurut Febby kenaikan harga gabah ini menandakan jumlah panen di daerah sentra produksi yang mulai terbatas. Sehingga ada potensi rebutan gabah di tingkat penggilingan padi untuk menjaga produktivitas. Adapun, pihaknya telah menyerap beras dari dalam negeri di sekitar 150.000 tempat penggilingan padi.

"Kami juga ada komersial, di mana kita membantu dan kami jamin beras ini kami jual tidak pernah di atas HET," ungkapnya.

Selain itu, Febby menyampaikan kenaikan harga beras juga terjadi karena tidak ada penyaluran bantuan pangan pada bulan Juli lalu sehingga membuat 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) kembali ke pasar untuk belanja beras.

Disisi lain, penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog sesuai ketetapan harga pemerintah hanya memiliki market share sebanyak 10 persen. Sehingga kondisi tersebut mempengaruhi perubahan permintaan beras yang berdampak pada kenaikan harga beras di pasaran.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Juli 2024 terjadi inflasi pada komoditas beras sebesar 0,94 persen secara bulanan atau month to month (mtm) dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,04 persen.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, komoditas beras mengalami inflasi setelah sebelumnya mengalami deflasi pada April dan Mei 2024.

"Setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada April dan Mei 2024. Komoditas beras mengalami mengalami inflasi pada dua bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan jumlah produksi beras yang berkurang setelah masa puncak panen raya padi,” tutur Amalia dalam konferensi pers, Kamis, 1 Agustus.

Menurut Amalia, kembalinya tren inflasi beras sejalan dengan jumlah produksi beras yang berkurang setelah masa puncak raya panen padi. Hal ini juga tercermin pada tren inflasi beras yang terjadi di 25 provinsi.

"Ini menunjukkan bahwa inflasi beras tidak terbatas pada satu wilayah, tapi juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia,” ujarnya.

Adapun produksi beras pada Juli 2024 mencapai 2,18 juta ton, nilai tersebut naik jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 2,06 juta ton.

Sementara, jika dibandingkan dengan musim panen raya pada April dan Mei 2024, jumlah produksi beras pada Juli 2024 turun tajam. Adapun produksi beras pada April mencapai 5,31 juta ton dan Mei 2024 mencapai 3,61 juta ton.