Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menyatakan, pembiayaan utang yang dilakukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) utamanya bukan untuk pembangunan infrastruktur.

Hal ini tercermin dari lebih rendahnya pertumbuhan belanja modal dibanding belanja barang dan pembayaran cicilan utang pemerintah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Faisal menjelaskan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, belanja modal pemerintah yang di dalamnya terdapat anggaran pembangunan infrastruktur, hanya tumbuh 130 persen dari Rp147,3 triliun pada 2014 menjadi Rp338,9 triliun di 2024.

Sementara itu, belanja barang pemerintah mengalami pertumbuhan sebesar 147,4 persen dari Rp176,6 triliun pada 2014 menjadi Rp436,9 triliun untuk tahun ini.

Bahkan pertumbuhan lebih tinggi dicatatkan oleh belanja cicilan dan bunga utang pemerintah, yakni sebesar 273,9 persen dari Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp499 triliun di 2024.

"Belanja modal itu relatif kecil gitu. Kan, dulu zaman Pak Darmin Nasution (Menko Perekonomian 2015-2019) kalau bicara utang, kalau kami tidak utang tidak dibangun infrastruktur. Utang itu bukan untuk infrastruktur, tapi untuk yang lain-lain," ujar Faisal dalam agenda 'Reviu RAPBN 2025 Ngegas Utang!' di Jakarta, Rabu, 21 Agustus.

Dia juga menyoroti rendahnya pertumbuhan anggaran bantuan sosial pemerintah selama satu dekade kepemimpinan Jokowi.

Tercatat pagu anggaran belanja bantuan sosial selama 10 tahun terakhir hanya tumbuh 56,6 persen, yakni dari Rp97,9 triliun pada 2014 menjadi Rp153,3 triliun di 2024.

"Jadi, kalau ada peningkatan (anggaran belanja) yang lain, belanja sosialnya dulu yang dipotong," kata Faisal.

Menurut Faisal, melambatnya pertumbuhan belanja yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti belanja modal dan bantuan sosial tidak terlepas dari posisi utang pemerintah yang terus bertambah. Sehingga, beban bunga dan cicilan dalam anggaran belanja pemerintah kian besar.

Sampai saat ini, porsi belanja bunga dan cicilan utang telah mencapai 20,3 persen dari total pagu belanja pemerintah. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dari posisi pada 2014, yakni sebesar 11,1 persen.

"Ruang fiskalnya makin sempit, buat yang lain-lain, ya, nggak ada," tuturnya.