JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyoroti dan meminta nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di level Rp16.100 per dolar AS dapat dikembalikan pada kesepakatan sebelumnya yaitu pada Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).
Sri Mulyani menjelaskan akan melakukan rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) dan dengan Komisi XI DPR terlebih dahulu terkait hal tersebut.
"Nanti kan kita bahas waktu dengan banggar yah, dan juga dengan komisis XI yah, kita lihat perkembangan-perkembangan terakhir ya," jelasnya setelah melakukan rapat dengan Banggar DPR RI, Selasa, 20 Agustus.
Sebelumnya, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Adisatrya Suryo menyoroti nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang diperkirakan di level Rp16.100.
"Saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp15.700 per dolar As. Pemerintah malah menetapkan nilai tukar pada 2025 senilai rupiah Rp16.200 per dolar As," ujarnya saat memberikan pandangan umum Fraksi atas RUU APBN 2025 beserta Nota Keuangannya di DPR RI, Selasa, 20 Agustus.
Menurut Adisatrya, penetapan nilai tukar rupiah yang melemah tersebut tidak sejalan dengan upaya yang dilakukan pemerintah selama ini dalam memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
BACA JUGA:
Oleh sebab itu, Pihaknya meminta agar pemerintah kembali pada kesepakatan sebelumnya yaitu pada Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).
"Oleh karena itu fraksi PDI Perjuangan berpandangan agar pemerintah kembali kepada kesepakatan KEM PPKF yaitu pada rentang nilai tukar rupiah Rp15.300 - Rp15.900," jelasnya.
Sementara, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Vera Vebyanthy menyampaikan dengan asumsi kurs yang dipatok dalam RAPBN 2025 sebesar Rp16.100 per dolar AS, maka pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus perlu mewaspadai ketidakpastian ekonomi global.
“Yakni masih tingginya suku bunga The Fed yang menyebabkan capital outflow dan situasi geopolitik masih membayangi nilai tukar di 2025,” jelasnya.