Bagikan:

JAKARTA - Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menilai seiring dengan meningkatnya besaran subsidi energi dan non-energi dari tahun ke tahun, ditambah dengan kebijakan terbaru yaitu seperti program makan bergizi gratis akan memunculkan kekhawatiran mengenai dampak jangka panjang terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Deni menjelaskan peningkatan subsidi yang terus-menerus dapat membebani APBN, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara. Hal ini dapat menyebabkan utang negara semakin membesar jika beban subsidi tidak dikelola dengan baik.

"Perlu kita cermati karena akan terus membebani, kalau kita tidak bisa mengiringinya dengan peningkatan penerimaan, yang terjadi adalah beban semakin besar dan utang akan semakin besar," jelasnya dalam CSIC Media Briefing: RAPBN 2025 Antara Keberlanjutan dan Penyesuaian secara Daring, Senin, 19 Agustus.

Menurut Deni anggaran subsidi merupakan instrumen fiskal dan distributif, sehingga penting untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun, apakah anggaran subsidi yang ada selama ini tepat sasaran dan mencapai yang diharapkan seperti subsidi pertanian apakah dapat mengurangi impor pangan.

"Misal subsidi Pertanian, apakah subsidi pertanian mensejahterakan petani, apakah impor pangan menjadi berkurang, kenyataannya tidak demikian. Begitu juga dengan subsidi energi, yang terjadi adalah sebagian besar subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg, itu sebagian besar dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak," jelasnya.

Dalam menghadapi persoalan tersebut, Deni menyampaikan perlu adanya penyesuaian subsidi dengan hati-hati karena dapat berdampak pada inflasi. Namun, penyesuaian ini penting untuk menjaga keseimbangan anggaran, defisit, dan kebutuhan lainnya.

Sementara, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Ardhi Wardhana menyebut pencabutan subsidi energi dapat dilakukan mengingat perlakuannya yang tidak tepat sasaran sejak 2005 telah terjadi reformasi energi.

“Sehingga jika dilihat sebetulnya memang besaran subsidi energi dari 2006 sampai tahun 2010 itu sebelum, harga minyak naik, itu memang cukup rendah jika dibandingkan dengan pasca COVID-19, kalo dilihat dari sejak tahun 2020,” katanya.

Ardhi menyampaikan pada tahun 2011 hingga 2014 ada kenaikan harga minyak dunia yang dapat melebihi 100 dolar Amerika Serikat, sehingga ketika harga naik akhirnya subsidi juga ikut terdampak naik.

"Setelah itu di tahun 2015, salah satu kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi adalah mencoba untuk merevisi pada waktu itu revisi yang paling besar yaitu turunnya kouta JBKP atau pada saat itu JBKP masih berupa premium, di tahun 2015 kuota turun sehingga subsidi dari premium turun sampai tahun 2019," ujarnya.

Setelah COVID-19, Ardhi menyampaikan muncul formula subsidi energi yang baru bernama post kompensasi. Jadi kompensasi ini disatukan dengan anggaran yang bersifat emergency, semisal bencana alam.

“Kita tahu juga bahwa kompensasi tidak dianggarkan di depan. Dia dianggarkan berupa selisih harga keekonomian dan harga pasar, jadi nanti akan dibayarkan di kuartal berikutnya,” ujarnya.

Ardhi menyampaikan harga minyak yang rebound setelah Covid-19 membuat kompensasi BBM melonjak naik hingga Rp379,3 triliun pada 2022. Angka ini berlanjut mengalami lonjakan pada tahun berikutnya sebesar Rp205,1 triliun pada 2023 dan Rp207 triliun pada Outlook 2024.

“Habis COVID-19 menyebabkan kompensasi yang sangat tinggi, jadi kompensasi naik tinggi sehingga bahkan mencapai Rp379,3 triliun, kalau bisa dilihat tahun-tahun berikutnya pun juga meningkat kenapa karena kalau kita ingat tahun 2020 kemarin karena ada depresiasi rupiah yang bahkan hampir mencapai Rp16.400. Makanya juga kompensasi meningkat,” kata dia.

Ardhi melihat anggaran subsidi ini bakal meningkat pada 2025 hingga 7 persen. Selain itu, dia melihat asumsi makro terhadap harga minyak sebesar 82 dolar AS dan nilai tukar rupiah di Rp16.100 akan meningkatkan kompensasi.

“Akhirnya subsidi perlu dikaji ulang atau lebih jauh lagi direformasi sehingga masalah formulasi subsidi yang volatile dan masalah regresivitas karena tidak tepat sasaran dapat terobati,” katanya.