JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasri membeberkan Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan CO2 Indonesia sangat besar, yakni mencapai 577,6 gigaton, yang terdiri dari potensi saline aquifer sebesar 572,8 gigaton dan Depleted oil & gas sebesar 4,8 gigaton.
Seluruh potensi penyimpanan CO2 tersebut tersebar dari ujung barat hingga timur di wilayah Indonesia.
"Potensi saline-nya bisa sampe 570 gigaton, 500 miliar ton untuk nyimpen CO2, kemudian depleted oil and gas ini sedikit, yaitu dari sumber-sumber minyak dan gas yang pernah dipompa bisa dimasukin CO2 dengan potensi sekitar 4 gigaton," ujar Arifin, Selasa, 6 Agustus.
Arifin memastikan potensi yang dimiliki Indonesia untuk mengaplikasikan Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCS/CCUS) akan dimanfaatkan sebagian besar untuk kebutuhan domestik.
"Nanti kita mengutamakan untuk capture CO2 di dalam negeri dulu sebelum dijadiin hub, jadi emang regulasinya itu 70-30, 70 persen untuk domestik," sambung Arifin.
Untuk memberikan landasan dan kepastian hukum, Arifin mengatakan bahwa Presiden telah meneken Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Dengan salah satu substansi utamanya adalah tercantum pula kapasitas penyimpanan untuk domestik, dengan minimum 70 persen dari total kapasitas penyimpanan dan dapat disesuaikan untuk kepentingan nasional.
Selain itu, pada tahun 2023 lalu Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
BACA JUGA:
Dengan memiliki landasan hukum tersebut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pionir di Asia Tenggara yang terdepan dalam membuat regulasi mengenai CCS/CCUS.
"Malaysia aja belum, Malaysia baru September. Kita udah duluan, udah sekitar 6 bulan ya," pungkas Arifin.