Bagikan:

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya menjadi pemain utama penyimpanan karbon di Indonesia.

Hal itu disampaikan Senior Vice President Research and Technology Innovation Pertamina Oki Muraza pada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.

Dalam paparannya, Oki melihat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan Pertamina.

Ia menyebutkan, ada 400 gigaton (GT) potensi CCS serta kapasitas bisnis CCS/CCUS yang mencapai 60 juta ton per tahun (MTPA) di Indonesia.

Demi menangkap peluang tersebut, saat ini Pertamina telah memiliki delapan lokasi CCS/CCUS yang pengembangannya dikolaborasikan bersama mitra strategis lainnya.

Terdapat dua lokasi di Sumatera, empat lokasi di Jawa, dan dua di Sulawesi.

Saat ini inisiatif CCS/CCUS tengah berada pada fase studi kelayakan yang meliputi teknis bawah permukaan, fasilitas permukaan, dan ekonomi.

“Sebagai BUMN sektor minyak dan gas yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia namun di saat bersamaan menjalankan program dekarbonisasi. Pertamina melihat CCUS sebagai upaya meningkatkan jumlah minyak dan gas kita sekaligus mendukung target NZE,” ujar Oki yang dikutip Selasa 5 Desember.

Dia menambahkan, Pertamina kini mengembangkan proyek CCUS di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang memiliki potensi penyimpanan karbon 146.000 ton.

Pertamina juga sedang mengembangkan proyek CCS sebagai platform yang mendukung produksi amonia dan hidrogen rendah karbon.

Karbon dioksida (CO2) dari pembangkit amonia dan kilang nantinya akan dihapus dari pembangkit hidrogen, dengan teknologi konsentrasi tinggi, dan unit pembakaran, dengan konsentrasi rendah.

Selanjutnya, CO2 akan dikompres dan diangkut ke area di sekitar pembangkit, lalu terjadilah injeksi CO2 atau proses CCS.

Setelah itu, nantinya akan terbentuk senyawa hidrogen dan amonia sebagai bahan baku rendah karbon. Proses ini telah dilakukan di kawasan Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Basin.

Oki menyebutkan, rata-rata CO2 dari pembangkit hidrogen di Balikpapan sebesar 1,4 juta ton per tahun. Sedangkan kapasitas penyimpanannya sebesar 270 juta ton.

Sementara itu, produksi amonia dilakukan di Pembangkit Amonia Banggai.

CO2 dari pembangkit amonia mencapai 1 juta ton per tahun. Kapasitas penyimpanannya mencapai 273 juta ton.

“Jika semua berjalan lancar, 2030 selesai, dan penyimpanan dapat digunakan,” kata Oki.

Ia menyatakan, Pertamina mendorong pemanfaatan CCS dan CCUS sejak Pertemuan Glasgow dua tahun lalu.

Sejak saat itu, Pertamina secara konsisten mempertimbangkan agar teknologi ini dapat diterapkan.

“Kami terus mengembangkan tahap per tahap, sambil menunggu kepastian kebijakan dari pemerintah,” ujar Oki.

Ada banyak kesepakatan untuk membentuk kebijakan tersebut, termasuk perhitungan CCS/CCUS ke dalam Nationally Determined Contributions (NDC), kolaborasi antar lembaga, dan dialog lainnya.

Aspek yang perlu diperhatikan dari pengembangan CCS dan CCUS adalah belanja modal.

Persoalan ini dapat diatasi dengan mengembangkan nature-based solution (NBS), karena biayanya paling murah. Solusi lainnya adalah penangkapan metana.

Oki menekankan, semua ini akan terwujud jika seluruh pihak saling bersinergi.

“CCS/CCUS adalah bisnis yang bisa kita pelajari dan bangun ilmu bersama,” imbuhnya.

Sesi ini juga dihadiri oleh Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Maulianda.

Dia menambahkan, CCS adalah inovasi paling memungkinkan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong target karbon netral.

CCS memiliki berbagai manfaat seperti mengurangi biaya, mencegah risiko dagang, membuka lapangan kerja, dan mendorong pengembangan industri rendah karbon.

Sementara itu, General Manager Advocacy Global CCS Institute Guloren Turan menilai Indonesia sudah berada di jalur yang tepat untuk mengembangkan CCS.

Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya penyimpanan dan telah berupaya mengembangkan kapasitas dan kerangka kebijakan.