JAKARTA - Eropa menjadi salah satu pasar ekspor perikanan yang paling potensial bagi Indonesia. Namun, Indonesia masih terhalang untuk bisa sepenuhnya memanfaatkan pasar tersebut.
Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ishartini tak menampik bahwa jumlah serta varian produk perikanan RI di pasar Uni Eropa stagnan. Situasi ini terjadi sejak tujuh tahun lalu.
"Saat ini, sudah ada 176 perusahaan unit pengolahan ikan yang mengekspor ke Uni Eropa. Namun, untuk menambah jumlah approval number ini masih belum bisa, ya. Sudah tujuh tahun kami belum bisa menambah jumlah maupun menambah varian produk yang bisa dikirim atau diekspor ke sana," ujar Ishartini dalam konferensi pers terkait Kinerja KKP Semester I-2024 di Jakarta, Selasa, 30 Juli.
Salah satu penyebab ekspor perikanan Indonesia ke Eropa belum optimal karena Benua Biru masih menganggap kualitas produk perikanan RI belum memenuhi standar di sektor hulu. Sektor hulu terdiri dari sejak ikan ditangkap dan ditangani di atas kapal, dibawa ke pemasok sampai ke unit pengelolaan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Ishartini menjelaskan pihaknya berupaya meyakinkan Uni Eropa bahwa sistem penjaminan mutu dari hulu sampai hilir produk perikanan Indonesia sudah baik. Komunikasi sedang diupayakan dengan Directorate-General for Health and Food Safety (DG Sante) Uni Eropa.
"Jadi, ini adalah upaya yang sedang kami lakukan untuk bisa berkomunikasi dengan tim dari Uni Eropa, DG SANTE (Directorate-General for Health and Food Safety), untuk bisa meyakinkan ke mereka semua bahwa pembinaan mutu dan penjaminan mutu sebetulnya sudah kami lakukan," tuturnya.
Di sisi lain, Ishartini bilang bahwa KKP bakal menggandeng seluruh pelaku usaha di sektor hulu hingga hilir untuk menjaga mutu dan kualitas produk perikanan Indonesia.
Dengan cara tersebut, Ishartini berharap agar jumlah ikan asal Indonesia yang disetujui oleh Uni Eropa untuk dipasarkan di Benua Biru dapat meningkat.
"Salah satunya nanti akan ditunjukkan dengan unit-unit usaha, baik itu di penangkapan budi daya yang sudah memiliki sertifikasi jaminan mutu ini untuk bisa kami yakinkan ke negara tujuan ekspor. Sehingga, approval number kami nanti akan bertambah. Dengan bertambahnya approval number, tentu akan menambah volume maupun nilai ekspor ke Uni Eropa," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, model penangkapan ikan di Indonesia masih belum sesuai dengan nelayan di negara lain. Hal ini menyebabkan produk perikanan Indonesia sulit masuk ke Uni Eropa.
Trenggono pun menyebut cara penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Indonesia masih barbar atau bisa dikatakan belum terkendali.
BACA JUGA:
"Karena cara penangkapan (perikanan) di Indonesia masih barbar. Memang benar cara penangkapan kami barbar. Penangkapan di luar negeri itu berbasis pada permintaan (demand)," kata Trenggono dalam acara Konferensi Pers Outlook & Program Prioritas Sektor Kelautan dan Perikanan di Gedung KKP, Jakarta, Rabu, 10 Januari.
Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan tarif pajak tinggi ikan dari Indonesia yaitu bisa sampai di atas 20 persen. Padahal Indonesia memiliki Generalized System of Preferences (GSP) atau kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Sehingga, tarif bea masuk produk Indonesia ke Uni Eropa menjadi sedikit lebih turun dibandingkan dengan tarif normalnya.