Bagikan:

JAKARTA - Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono mengatakan komunikasi publik yang efektif dapat menciptakan peningkatan kepercayaan nasabah terhadap perbankan, khususnya pada era digital seperti sekarang  .

Menurut dia, masalah asimetris informasi relatif bukan disebabkan oleh ketiadaan materi melainkan bias informasi pada di ranah publik terutama melalui media sosial.

“Oleh karena itu, komunikasi yang efektif tentang skema penjaminan simpanan kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan kepercayaan pada tingkat yang diharapkan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 Maret.

Didik menambahkan, berdasar survey Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di periode 2019 menyebutkan bahwa literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain.

“Atas dasar tersebut kami berkomitmen secara intensif untuk terus mensosialisasikan mandat dan fungsi LPS dengan menggandeng kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dengan insan media dalam berbagai bentuk edukasi masyarakat agar tetap menjaga kepercayaan terhadap perbankan,” tuturnya.

Didik juga memaparkan tentang pergeseran perilaku konsumen pada masa pandemi ini. Dia menilai nasabah kini lebih memilih berbagai layanan yang berbasis digital. Asumsi tersebut dibuktikan peningkatan layanan berbasis digital yang terjadi hampir terjadi pada semua lembaga jasa keuangan.

Fakta tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia, Google, Temasek, dan Bain and Company yang menyebut fenomena ini sebagai flight-to-digital.

“Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus bisa mengikuti. Perkembangan teknologi akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik serta kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian,” jelasnya.

Sebagai informasi, di Asia Tenggara sekitar 1 dari 3 konsumen yang menggunakan layanan digital merupakan konsumen baru selama pandemi.

Adapun, 9 dari 10 konsumen yang menggunakan layanan digital baru akan terus menggunakan layanan ini di masa mendatang.

Meskipun Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan di level minus 2,07 persen pada 2020 lalu, namun ekonomi berbasis internet di dalam negeri telah mampu tumbuh dua digit sebesar 11 persen dari Nilai Pasar Bruto (GMV) pada termin yang sama.

Lebih lanjut, Anggota Komisioner LPS itu mengingatkan salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital adalah ketidaksetaraan digital alias digital inequality. Fenomena ini dikatakan dia merupakan risiko dengan tingkat kemungkinan yang bakal dihadapi dalam sepuluh tahun ke depan, utamanya terkait masalah keamanan siber.

“Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut,” tutupnya.