Bagikan:

JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat, 28 Juni 2024 diperkirakan akan bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Mengutip Bloomberg, nilai tukar Rupiah hari Kamis, 27 Juni 2024, Kurs rupiah di pasar spot ditutup menguat tipis 0,05 persen di level Rp16.406 per dolar AS. Senada, kurs rupiah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup naik 0,08 persen ke level harga Rp16.421 per dolar AS.

Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan arus masuk ke dolar terutama didorong oleh antisipasi data indeks harga PCE, yang akan dirilis pada hari Jumat. Angka tersebut merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, dan diperkirakan akan menjadi faktor dalam sikap bank sentral terhadap suku bunga.

"Data PCE diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit menurun pada bulan Mei, namun tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2 persen," ujarnya dalam keterangannya, dikuip Jumat, 28 Juni.

Ibrahim menyampaikan inflasi yang stagnan memberi The Fed lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama – sebuah skenario yang berdampak buruk bagi emas dan logam mulia.

Komentar hawkish dari pejabat Fed juga memperkuat ekspektasi akan tingginya suku bunga dalam beberapa sesi terakhir. Suku bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya peluang (opportunity cost) dalam berinvestasi pada aset-aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding), dan membuat para pedagang menjadi lebih bias terhadap dolar dan utang AS.

Dari sisi internal, dalam menghadapi kondisi yang tak menentu, para ekonom mengingatkan kepada Pemerintah, Bank Indonesia dan pihak berwenang lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal mata uang rupiah, yang saat ini sudah tembus level psikologis di atas Rp.16.400 per dolar AS.

Terlepas dari level tersebut, pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp 16.500 per dolar AS, karena level tersebut merupakan level yang sangat kritis sehingga akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini, sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp 17.000 per dolar AS.

Selain itu, sikap hawkish The Fed yang menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) dan sekaligus memberikan tekanan kepada negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.

Adapun, konflik geopolitik di Timur Tengah dan Eropa yang berkepanjangan, perang dagang AS, UE dengan Tiongkok serta panasnya pilpres di AS menjadi salah satu faktor penekan mata uang rupiah yang porsinya cukup tinggi.

Selain itu, terdapat data-data ekonomi domestik yang mempengaruhi sentimen pasar, di antaranya defisit transaksi berjalan RI yang mengalami kenaikan dari 1,1 miliar dolar AS menjadi 2,2 miliar dolar AS pada kuartal pertama 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur RI turun dari 52,9 menjadi 52,1 pada Mei 2024 dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) RI turun dari 127,7 menjadi sebesar 125,2 pada Mei 2024.

Adapun faktor lainnya melingkupi peningkatan kepemilikan investor terhadap instrumen-instrumen lain seperti SBN, SBSN, dan SRBI, penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley, volatilitas harga saham-saham tertentu, dll.

Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup melemah pada perdagangan Jumat, 28 Juni 2024 dalam rentang harga Rp16.390 - Rp16.450 per dolar AS.